Rabu, 01 Agustus 2012

Penerapan Syari’at Islam, Ditangan Pemimpin Oleh: Taufik Hidayat,SH.


Menurut sejarah, propinsi Aceh telah menjadi propinsi khusus. Artinya Aceh diberi otonomi lebuih luas dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan agama. Pemberian otonomi khusus di propinsi Aceh, termasuk didalamnya klausul penerapan syari’at, telah membuka jalan untuk mewujudkan syari’at Islam di atas bumi ini.
Propinsi Aceh adalah salah satu propinsi diterapkannya Syari’at Islam yang payung hukumnya antara lain Undang-Undang No. 44 Tahun 99 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah No.5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
Dalam pandangan filsafat, tujuan akhir syari’at adalah keadilan. Kaitannya dengan syari’at Islam, keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada pedoman pokok agama Islam, yaitu al-Quran dan Hadis. Dengan demikian, keadilan dalam Islam merupakan perpaduan harmonis antara hukum dengan moralitas.
Pada prinsipnya, pemberlakuan syari’at Islam di propinsi Aceh adalah untuk terwujudnya ketertiban umum dan Keadilan. Tentunya, kita berharap pemberlakuan syari’at Islam tersebut bukan sekedar slogan atau simbol semata dari pemerintah daerah. Esensinya adalah semangat menegakkan syari’at kepada siapapun tanpa pandang bulu.
Islam pada hakikatnya tidak bertujuan untuk menghancurkan kebebasan individu, tapi mengontrol kebebasan itu demi keselarasan dan harmonisasi masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri. Individu diberi hak untuk mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan orang banyak.  
Kita percaya, dalam frame pemikiran indvidu-individu yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di bumi bersyari’at ini, yang tergambar adalah Aceh propinsi yang penuh damai, taat dan bebas maksiat.
Faktanya, di Aceh memang tidak ditemukan tempat lokalisasi seperti di daerah lain di Republik ini, kita juga tidak menjumpai tempat penjualan minuman keras (miras), dan tidak ditemukan lapak (tempat) berjudi dan lain sebagainya tempat-tempat maksiat.
Fakta boleh berkata tidak, namun fenomena yang terjadi sungguh mencengangkan kita semua. Di  negeri yang bersyari’at ini, ternyata terselubung maksiat. Jejak-jejak maksiat tersebut dapat terlihat, misal terungkapnya beberapa salon esek-esek di Peunayong, kemudian aparat keamanan berhasil menangkap satu truk berisi minuman keras (miras) di Kecamatan Kuta Raja baru-baru ini. Selain itu, tampak pemandangan yang cukup mengejutkan, dimana pedagang kaki lima disepanjang jalan menuju Simpang Dodik Keutapang menyediakan lapak bagi pasangan muda-mudi non muhrim dikeremangan cahaya lampu ketika malam.
 Kesan yang timbul selama ini, mungkin akibat renaissance (masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern) yang membuat manusia mabuk oleh kemerdekaan formil, sehingga manusia berbuat dalam masyarakat dengan kebebasan penuh, tidak perlu diatur. Akibatnya nafsu menjadi raja gerak langkah manusia.
Sampai detik ini, belum ada batasan yang jelas dari pemerintah tentang apa yang dimaksud dengan penerapan syari’at. Slogan ini dibiarkan kabur atau remang-remang sedemikian rupa sehingga tidak jelas maksudnya, entah karena kebodohan atau malah disengaja.
Sekiranya yang dimaksud pemerintah mengenai penerapan syari’at adalah hukum-hukum agama yang berkenaan dengan persoalan ibadah, maka penerapannya tentu tidak perlu dengan mengincar kekuasaan, terlebih membangkitkan sentimen dan emosi massa. Masalah ibadah merupakan persoalan yang sudah dikenal luas oleh kebanyakan umat Islam. Dan karena itu, dia tidak perlu dukungan ataupun pengaturan negara dan aparaturnya.
Padahal pemerintah sebagai subjek sekaligus objek syari’at Islam, memegang peranan sentral dalam aktualisasi syari’at Islam yang selalu memperhatikan bentuk keseimbangan disegala bidang, bukan hanya keseimbangan antara manusia dengan manusia, tetapi lebih jauh dari itu keseimbangan antara manusa dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Maka, untuk dapat mengaktualisasikan hukum Islam tersebut, seyogyanya menjadi tanggungjawab kita bersama, terlebih menjadi tanggungjawab kepala daerah sebagai pemimpin di propinsi ini. Dalam momentum pesta demokrasi kali ini, siapapun yang terpilih sebagai kepala daerah nantinya, sudah selayaknya memiliki komitmen untuk tetap menegakkan syari’at. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa implementasi syari’at secara menyeluruh sangat tergantung pada keterkaitan pemimpin muslim terhadap syari’at.

Tidak ada komentar: