Menurut sejarah, propinsi
Aceh telah menjadi propinsi khusus. Artinya Aceh diberi otonomi lebuih luas
dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan agama. Pemberian otonomi khusus di
propinsi Aceh, termasuk didalamnya klausul penerapan syari’at, telah membuka jalan
untuk mewujudkan syari’at Islam di atas bumi ini.
Propinsi Aceh adalah salah
satu propinsi diterapkannya Syari’at Islam yang payung hukumnya antara lain
Undang-Undang No. 44 Tahun 99 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dan Peraturan
Daerah No.5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
Dalam pandangan filsafat,
tujuan akhir syari’at adalah keadilan. Kaitannya dengan syari’at Islam,
keadilan yang harus dicapai mesti mengacu pada pedoman pokok agama Islam, yaitu
al-Quran dan Hadis. Dengan demikian, keadilan dalam Islam merupakan perpaduan
harmonis antara hukum dengan moralitas.
Pada
prinsipnya, pemberlakuan syari’at Islam di propinsi Aceh adalah untuk terwujudnya
ketertiban umum dan Keadilan. Tentunya, kita berharap pemberlakuan syari’at
Islam tersebut bukan sekedar slogan atau simbol semata dari pemerintah daerah.
Esensinya adalah semangat menegakkan syari’at kepada siapapun tanpa pandang
bulu.
Islam
pada hakikatnya tidak bertujuan untuk menghancurkan kebebasan individu, tapi
mengontrol kebebasan itu demi keselarasan dan harmonisasi masyarakat yang
terdiri dari individu itu sendiri. Individu diberi hak untuk mengembangkan hak
pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan orang banyak.
Kita
percaya, dalam frame pemikiran indvidu-individu yang sama sekali belum pernah menginjakkan
kaki di bumi bersyari’at ini, yang tergambar adalah Aceh propinsi yang penuh
damai, taat dan bebas maksiat.
Faktanya,
di Aceh memang tidak ditemukan tempat lokalisasi seperti di daerah lain di
Republik ini, kita juga tidak menjumpai tempat penjualan minuman keras (miras),
dan tidak ditemukan lapak (tempat) berjudi dan lain sebagainya tempat-tempat
maksiat.
Fakta
boleh berkata tidak, namun fenomena yang terjadi sungguh mencengangkan kita
semua. Di negeri yang bersyari’at ini, ternyata
terselubung maksiat. Jejak-jejak maksiat tersebut dapat terlihat, misal
terungkapnya beberapa salon esek-esek di Peunayong, kemudian aparat keamanan
berhasil menangkap satu truk berisi minuman keras (miras) di Kecamatan Kuta
Raja baru-baru ini. Selain itu, tampak pemandangan yang cukup mengejutkan, dimana
pedagang kaki lima disepanjang jalan menuju Simpang Dodik Keutapang menyediakan
lapak bagi pasangan muda-mudi non muhrim dikeremangan cahaya lampu ketika
malam.
Kesan yang timbul selama ini, mungkin akibat
renaissance (masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern) yang membuat
manusia mabuk oleh kemerdekaan formil, sehingga manusia berbuat dalam
masyarakat dengan kebebasan penuh, tidak perlu diatur. Akibatnya nafsu menjadi
raja gerak langkah manusia.
Sampai
detik ini, belum ada batasan yang jelas dari pemerintah tentang apa yang
dimaksud dengan penerapan syari’at. Slogan ini dibiarkan kabur atau
remang-remang sedemikian rupa sehingga tidak jelas maksudnya, entah karena
kebodohan atau malah disengaja.
Sekiranya
yang dimaksud pemerintah mengenai penerapan syari’at adalah hukum-hukum agama
yang berkenaan dengan persoalan ibadah, maka penerapannya tentu tidak perlu
dengan mengincar kekuasaan, terlebih membangkitkan sentimen dan emosi massa.
Masalah ibadah merupakan persoalan yang sudah dikenal luas oleh kebanyakan umat
Islam. Dan karena itu, dia tidak perlu dukungan ataupun pengaturan negara dan
aparaturnya.
Padahal
pemerintah sebagai subjek sekaligus objek syari’at Islam, memegang peranan
sentral dalam aktualisasi syari’at Islam yang selalu memperhatikan bentuk
keseimbangan disegala bidang, bukan hanya keseimbangan antara manusia dengan
manusia, tetapi lebih jauh dari itu keseimbangan antara manusa dengan alam dan
manusia dengan Tuhan.
Maka,
untuk dapat mengaktualisasikan hukum Islam tersebut, seyogyanya menjadi
tanggungjawab kita bersama, terlebih menjadi tanggungjawab kepala daerah
sebagai pemimpin di propinsi ini. Dalam momentum pesta demokrasi kali ini, siapapun
yang terpilih sebagai kepala daerah nantinya, sudah selayaknya memiliki
komitmen untuk tetap menegakkan syari’at. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa
implementasi syari’at secara menyeluruh sangat tergantung pada keterkaitan
pemimpin muslim terhadap syari’at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar