Pekerja anak
merupakan anak yang melakukan jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan
menghambat proses belajar serta tumbuh kembangnya.
Praktek mempekerjakan anak pada berbagai jenis pekerjaan-pekerjaan terburuk,
harus segera dihapuskan karena merendahkan harkat dan martabat manusia
khususnya anak-anak, serta merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara
wajar.
Jika orang yang
memiliki harga diri tinggi cenderung mengembangkan sikap positif, hal yang
sebaliknya terjadi pada orang-orang yang harga dirinya direndahkan. Pada usia
anak-anak, salah satu yang kerap muncul adalah perasaan tidak kompeten.
Sampai dengan saat
ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti. Pekerja anak tersebar
baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak di daerah pedesaan
lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian, perkebunan, perikanan,
pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan keluarga. Pekerja anak di
daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu
rumah tangga atau pekerja industry rumahan atau industry keluarga) maupun di
jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung.
Banyak alasan yang
dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan pekerja anak tersebut. dari
berbagai alasan yang dikemukakan, factor kemiskinan dan kondisi ekonomi
dianggap sebagai factor utama yang mendorong keberadaan pekerja anak.
Penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh (2005-2007),
menemukan berbagai factor yang menyebabkan anak-anak bekerja baik untuk
membantu nafkah keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Kemiskinan disebutkan sebagai penyebab utama. Disamping berkaitan dengan akses
dan kesempatan anak memperoleh pendidikan. Tradisi yang masih banyak
dianut masyarakat juga ditemukan sebagai
factor pendorong dan penarik (push and
pull), bahwa mempekerjakan anak dianggap sebagai bagian dari proses belajar
bagi anak untuk menghargai kerja dan tanggungjawab, yang akan berguna bagi masa
depannya. Mempekerjakan anak dinilai sebagai media untuk melatih dan
memperkenalkan dunia kerja, disamping harapan kepada anak untuk membantu
perekonomian keluarga.
Mempekerjakan anak
pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang buruk di Indonesia, namun demikian
keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh Pemerintah
Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak jaman
pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peratutan
perundang-undangan yang mengatur soal pelarangan untuk mempekerjakan anak.
Namun, upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi
anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih
menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus
ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak.
Berbagai peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda tersebut antara
lain 1) Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur
12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan: di pabrik pada ruangan tertutup
biasanya dipergunakan mesin dan dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang
atau lebih secara bersama-sama, pembuatan,
pemeliharaan, perbaikan dan pembongkaran jalan tanah, penggalian,
perairan dan bangunan serta jalan-jalan, pada perusahaan kereta api, bongkar
muat barang; 2) Ordonansi tahun 1926, Staatsblad Nomor 87 melarang
mempekerjakan anak dibawah umur 12 (dua belas) tahun pada pekerjaan di kapal.
3) Regeringsverordening Tahun 1930 Staatsblad Nomor 341 melarang anak usia
dibawah 16 (enam belas) tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan.
Dalam perkembangan
selanjutnya, pengaturan mengenai perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja
diatur oleh UU No.4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak. Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar dengan Inpres No.1
Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga
anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun mendapatkan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Dengan kebijakan ini diharapkan
secara tidak langsung dapat mengurangi pekerja anak.
Seiring dengan perkembangan waktu, pemerintah Indonesia
melalui undang-undang ketenagakerjaan mengultimatum para pengusaha agar tidak
mempekerjakan anak. Namun, ultimatum tersebut tidaklah secara imperatif
(mewajibkan) melarang para pengusaha mempekerjakan anak.
Adanya
pengecualian, secara fakultatif (tidak mewajibkan) ultimatum tersebut memberi peluang
bagi pengusaha untuk mempekerjakan anak. Dengan catatan, bila usia anak telah
sampai 13 atau 15 tahun dan pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan ringan,
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan
sosialnya. Disamping itu, pengusaha juga harus memenuhi persyaratan, antara
lain:(a) izin tertulis dari orang tua;(b) perjanjian kerja antara pengusaha
dengan orang tua atau wali si anak;(c) waktu kerja maksimum 3 jam;(d) dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu atau jadwal sekolah;(e) keselamatan
dan kesehatan kerja;(f) adanya hubungan kerja yang jelas, dan (g) menerima upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tak kalah pentingnya, dalam hal anak
dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak
harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. (UU No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan)
Persyaratan
tersebut tidak berlaku jika anak bekerja pada usaha keluarganya. Pada
prinsipnya, pekerjaan yang dilakukan anak lebih kurang adalah untuk
mengembangkan bakat dan minatnya serta mendidik anak untuk mampu
bertanggungjawab dan mengetahui dunia kerja yang nyata, sehingga ketika telah
tiba waktu mereka memasuki dunia kerja, mereka telah siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar