Rabu, 01 Agustus 2012

Anak dan Pekerjaan Terburuk Baginya


Pekerja anak merupakan anak yang melakukan jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembangnya. Praktek mempekerjakan anak pada berbagai jenis pekerjaan-pekerjaan terburuk, harus segera dihapuskan karena merendahkan harkat dan martabat manusia khususnya anak-anak, serta merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.
Jika orang yang memiliki harga diri tinggi cenderung mengembangkan sikap positif, hal yang sebaliknya terjadi pada orang-orang yang harga dirinya direndahkan. Pada usia anak-anak, salah satu yang kerap muncul adalah perasaan tidak kompeten.
Sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti. Pekerja anak tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industry rumahan atau industry keluarga) maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung.
Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan pekerja anak tersebut. dari berbagai alasan yang dikemukakan, factor kemiskinan dan kondisi ekonomi dianggap sebagai factor utama yang mendorong keberadaan pekerja anak. Penelitian Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Aceh (2005-2007), menemukan berbagai factor yang menyebabkan anak-anak bekerja baik untuk membantu nafkah keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kemiskinan disebutkan sebagai penyebab utama. Disamping berkaitan dengan akses dan kesempatan anak memperoleh pendidikan. Tradisi yang masih banyak dianut  masyarakat juga ditemukan sebagai factor pendorong dan penarik (push and pull), bahwa mempekerjakan anak dianggap sebagai bagian dari proses belajar bagi anak untuk menghargai kerja dan tanggungjawab, yang akan berguna bagi masa depannya. Mempekerjakan anak dinilai sebagai media untuk melatih dan memperkenalkan dunia kerja, disamping harapan kepada anak untuk membantu perekonomian keluarga.
Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang buruk di Indonesia, namun demikian keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh Pemerintah Belanda. Sejarah perlindungan bagi anak yang bekerja dimulai sejak jaman pemerintahan Belanda yang ditandai dengan dikeluarkannya beberapa peratutan perundang-undangan yang mengatur soal pelarangan untuk mempekerjakan anak. Namun, upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan bagi anak yang bekerja tersebut melalui peraturan perundang-undangan lebih menitikberatkan kepada perlindungan bagi anak yang bekerja dan bukan khusus ditujukan untuk menghapus secara keseluruhan pekerja anak.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda tersebut antara lain 1) Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925 yang intinya melarang anak dibawah umur 12 (dua belas) tahun untuk melakukan pekerjaan: di pabrik pada ruangan tertutup biasanya dipergunakan mesin dan dilakukan pekerjaan tangan oleh sepuluh orang atau lebih secara bersama-sama, pembuatan,  pemeliharaan, perbaikan dan pembongkaran jalan tanah, penggalian, perairan dan bangunan serta jalan-jalan, pada perusahaan kereta api, bongkar muat barang; 2) Ordonansi tahun 1926, Staatsblad Nomor 87 melarang mempekerjakan anak dibawah umur 12 (dua belas) tahun pada pekerjaan di kapal. 3) Regeringsverordening Tahun 1930 Staatsblad Nomor 341 melarang anak usia dibawah 16 (enam belas) tahun untuk melakukan pekerjaan pada bangunan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengaturan mengenai perlindungan dan pelarangan anak yang bekerja diatur  oleh UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Selain itu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar dengan Inpres No.1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar, sehingga anak-anak yang berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Dengan kebijakan ini diharapkan secara tidak langsung dapat mengurangi pekerja anak.
 Seiring dengan perkembangan waktu, pemerintah Indonesia melalui undang-undang ketenagakerjaan mengultimatum para pengusaha agar tidak mempekerjakan anak. Namun, ultimatum tersebut tidaklah secara imperatif (mewajibkan) melarang para pengusaha mempekerjakan anak.
Adanya pengecualian, secara fakultatif (tidak mewajibkan) ultimatum tersebut memberi peluang bagi pengusaha untuk mempekerjakan anak. Dengan catatan, bila usia anak telah sampai 13 atau 15 tahun dan pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan ringan, sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosialnya. Disamping itu, pengusaha juga harus memenuhi persyaratan, antara lain:(a) izin tertulis dari orang tua;(b) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali si anak;(c) waktu kerja maksimum 3 jam;(d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu atau jadwal sekolah;(e) keselamatan dan kesehatan kerja;(f) adanya hubungan kerja yang jelas, dan (g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tak kalah pentingnya, dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. (UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
Persyaratan tersebut tidak berlaku jika anak bekerja pada usaha keluarganya. Pada prinsipnya, pekerjaan yang dilakukan anak lebih kurang adalah untuk mengembangkan bakat dan minatnya serta mendidik anak untuk mampu bertanggungjawab dan mengetahui dunia kerja yang nyata, sehingga ketika telah tiba waktu mereka memasuki dunia kerja, mereka telah siap.

Tidak ada komentar: