Mengutip kalimat “Narkoba, Kado Istimewa dari Neraka”, pada sebuah
foster yang dipajang di salah satu sudut kantor Polisi Daerah Aceh, merupakan
pesan yang bermakna bagi setiap orang.
Pada dasarnya, terdapat
tiga golongan narkoba (golongan alami, semi sintetis dan sintetis) dimana salah
satu zat yang terkandung didalam narkoba tersebut sangat bermanfaat dan
diperlukan tubuh kita sebagai obat untuk penyakit tertentu. Namun, jika
disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat
menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi kita (manusia).
Kondisi yang memprihatinkan justru penggunaan
dan peredaran narkoba yang kini terjadi menyasar para siswa dan aparat
kepolisian. Bila ini tidak terbendung, maka hancurlah generasi muda, daya pikir
mereka menurun dan membuat masa depan mereka hancur. Pengguna narkoba kini
bukan hanya mereka yang ingin lari dari sebuah masalah atau pengaruh
lingkungan, namun cendrung ke gaya hidup. Sikap inilah yang susah diberi
pengertian apa damapak buruk dari narkoba. Mereka lebih asik dan bangga dengan
kehidupan mereka.
Hal ini akan lebih
merugikan lagi jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap yang
dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai
budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Dimana saja, narkoba itu
ancaman bagi kita. Faktanya, kasus penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang
di Propinsi Aceh kian memasuki tahap yang mencemaskan. Dalam perkembangannya
satu tahun belakangan ini, BNN (Badan Narkotika Nasional) mencatat 48.300 orang
di Aceh termasuk dalam kelompok pemakai narkoba. Jumlah ini menempatkan Aceh
sebagai peringkat empat nasional dari 33 propinsi dalam hal peredaran narkoba
secara nasional.
Kondisi ini memang pantas
membuat kita cemas sekaligus waspada. Sebab, angka 48.300 orang itu
mengindikasikan sudah lebih 1 persen dari 4,6 juta jiwa penduduk Aceh yang
terdata oleh BNP Aceh sebagai pecandu narkoba.
Jika demikian situasinya,
bagaimana mungkin instruksi Presiden (Inpres No.12 Tahun 2011 tentang
Pemberantasan Narkoba) yang mengatakan Indonesia harus bebas narkoba pada 2015
dapat terwujud. Jangankan bebas, meminimalisir saja seakan jauh api dari panggang.
Peredaran narkoba di Aceh
dari waktu ke waktu cenderung dinamis. Bahkan, bandar narkoba saat ini tidak
lagi beraksi di wilayah perkotaan, melainkan sudah merambah ke perkampungan
penduduk, 70 persen narkoba beredar di pedesaan/perkampungan meliputi jenis
ganja, sabhu-shabu, putaw, amfetamin, hingga penggunaan lem. Hal ini
mengindikasikan bahwa narkoba bukan lagi barang langka, tetapi mudah untuk
diperoleh oleh para pengguna. Kondisi ini akan merusak ekonomi, tatanan agama,
budaya dan prilaku sosial kehidupan perkampungan yang selama ini cukup aman,
tentram dan bersahaja.
Lembaga kepolisian di
Aceh pun sebagai garda terdepan dalam perang melawan narkoba, ternyata tidak
pula steril dari jerat narkoba. Sedikitnya, 830 lebih personil Polri yang masih
aktif pada institusi tersebut di Aceh
tahun lalu terindikasi terlibat narkoba. Angka yang terbanyak memang pada
kelompok pengguna, tapi pengedarnya pun tak sedikit, bukan rahasia lagi
terkadang ramai dari jajaran perwira. Logikanya, bagaimana mungkin polisi yang
mabuk mempunyai kinerja dan kreatifitas yang baik, sehingga mampu menjalankan
tugas dengan baik pula.
Padahal berdasarkan
Undang-Undang Kepolisian, tugas pokok seorang polisi adalah melakukan
penegakkan hukum. Jika oknum polisi dan TNI yang seharusnya menjadi penegak
hukum terjerat narkoba, maka peredaran di masyarakat sudah sangat gampang.
Polri, sebagai lembaga yang punya kewenangan penindakan para pemakai narkoba,
seakan kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena ada anggotanya ikut
mengkomsumsi dan mengedar barang haram tersebut.
Menurut Kapolda Aceh
bahwa kesulitan petugas jajaran Polda Aceh dalam pengungkapan kasus peredaran
narkoba karena dibekingi anggota polisi juga. Bagaimana mungkin polisi bisa
menertibkan masyarakat, sementara masih ada oknum anggotanya yang terlibat
peredaran narkoba.
Polisi konsisten terhadap
pemberantasan peredaran narkoba dijajarannya. Untuk dapat melakukan
pemberantasan tersebut, maka Peraturan Kapolda (Perkap) Aceh tentang sanksi
terhadap personel polisi yang terindikasi mengkonsumsi narkoba sudah mulai
diberlakukan. Sanksi yang diberikan bagi personel polisi yang terindikasi
mengkonsumsi narkoba; yakni (1) bintara hingga perwira Polri di Aceh yang
terindikasi menggunakan narkoba, diberi sanksi penghentian gaji berkala dan
tunjangan kinerja (remunerasi); (2) tidak mendapat jabatan; (3) tidak
mendapatkan hak atas pengusulan pangkat; (4) tidak mempunyai hak pendidikan;
(5) sanksi ini berlaku sampai polisi yang bersangkutan benar-benar sembuh dari
ketergantungan.
Kepolisian Daerah Aceh
mengharapkan partisipasi dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, karena
jika aparat saja yang bertugas di lapangan tanpa dibantu masyarakat, tidak akan
berarti apa-apa. Apalagi dilema selama ini, polisi sangat kesulitan menangkap
bandar besar, karena masyarakat kurang mendukung serta minimnya informasi yang
diberikan.
Sejalan dengan itu,
Kasdam Iskandar Muda (Brigjend TNI M.Sahil) menegaskan kepada anggotanya: kalau
seorang prajurit bersenjata mengkonsumsi narkoba sampai mabuk, maka prajurit
lainnya terancam tertembak, maka ancaman bagi prajurit tersebut adalah harus
dipecat.
Tidak terlepas dari hal
tersebut, peran orang tua agar mewaspadai gerak-gerik, tingkah laku
anak-anaknya agar tidak sampai terjerumus kedalam bahaya narkoba yang akan merusak prestasi dan
nama baik orang tua. Selayaknya, di desa-desa dihidupkan kembali pengajian
rutin bagi kalangan muda, sehingga masyarakat umum akan terhindar dari bahaya
narkoba. Oleh karena itu, pencegahannya harus menjadi satu bagian dari agama,
penerapan syariat menjadi solusi tepat, tentunya harus masuk ke dalam qanun.
Selain itu, penanggulangan dan pemberantasan narkoba dengan pencegahan yang
preventif di luar penegakan hukum yang tegas, seperti penyuluhan, kampanye dan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar