Rabu, 01 Agustus 2012

NARKOBA SUMBER MALAPETAKA


Mengutip kalimat  “Narkoba, Kado Istimewa dari Neraka”, pada sebuah foster yang dipajang di salah satu sudut kantor Polisi Daerah Aceh, merupakan pesan yang bermakna bagi setiap orang.
Pada dasarnya, terdapat tiga golongan narkoba (golongan alami, semi sintetis dan sintetis) dimana salah satu zat yang terkandung didalam narkoba tersebut sangat bermanfaat dan diperlukan tubuh kita sebagai obat untuk penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi kita (manusia).
 Kondisi yang memprihatinkan justru penggunaan dan peredaran narkoba yang kini terjadi menyasar para siswa dan aparat kepolisian. Bila ini tidak terbendung, maka hancurlah generasi muda, daya pikir mereka menurun dan membuat masa depan mereka hancur. Pengguna narkoba kini bukan hanya mereka yang ingin lari dari sebuah masalah atau pengaruh lingkungan, namun cendrung ke gaya hidup. Sikap inilah yang susah diberi pengertian apa damapak buruk dari narkoba. Mereka lebih asik dan bangga dengan kehidupan mereka.
Hal ini akan lebih merugikan lagi jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Dimana saja, narkoba itu ancaman bagi kita. Faktanya, kasus penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang di Propinsi Aceh kian memasuki tahap yang mencemaskan. Dalam perkembangannya satu tahun belakangan ini, BNN (Badan Narkotika Nasional) mencatat 48.300 orang di Aceh termasuk dalam kelompok pemakai narkoba. Jumlah ini menempatkan Aceh sebagai peringkat empat nasional dari 33 propinsi dalam hal peredaran narkoba secara nasional.
Kondisi ini memang pantas membuat kita cemas sekaligus waspada. Sebab, angka 48.300 orang itu mengindikasikan sudah lebih 1 persen dari 4,6 juta jiwa penduduk Aceh yang terdata oleh BNP Aceh sebagai pecandu narkoba.
Jika demikian situasinya, bagaimana mungkin instruksi Presiden (Inpres No.12 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Narkoba) yang mengatakan Indonesia harus bebas narkoba pada 2015 dapat terwujud. Jangankan bebas, meminimalisir saja seakan jauh api dari panggang.
Peredaran narkoba di Aceh dari waktu ke waktu cenderung dinamis. Bahkan, bandar narkoba saat ini tidak lagi beraksi di wilayah perkotaan, melainkan sudah merambah ke perkampungan penduduk, 70 persen narkoba beredar di pedesaan/perkampungan meliputi jenis ganja, sabhu-shabu, putaw, amfetamin, hingga penggunaan lem. Hal ini mengindikasikan bahwa narkoba bukan lagi barang langka, tetapi mudah untuk diperoleh oleh para pengguna. Kondisi ini akan merusak ekonomi, tatanan agama, budaya dan prilaku sosial kehidupan perkampungan yang selama ini cukup aman, tentram dan bersahaja.
Lembaga kepolisian di Aceh pun sebagai garda terdepan dalam perang melawan narkoba, ternyata tidak pula steril dari jerat narkoba. Sedikitnya, 830 lebih personil Polri yang masih aktif  pada institusi tersebut di Aceh tahun lalu terindikasi terlibat narkoba. Angka yang terbanyak memang pada kelompok pengguna, tapi pengedarnya pun tak sedikit, bukan rahasia lagi terkadang ramai dari jajaran perwira. Logikanya, bagaimana mungkin polisi yang mabuk mempunyai kinerja dan kreatifitas yang baik, sehingga mampu menjalankan tugas dengan baik pula.
Padahal berdasarkan Undang-Undang Kepolisian, tugas pokok seorang polisi adalah melakukan penegakkan hukum. Jika oknum polisi dan TNI yang seharusnya menjadi penegak hukum terjerat narkoba, maka peredaran di masyarakat sudah sangat gampang. Polri, sebagai lembaga yang punya kewenangan penindakan para pemakai narkoba, seakan kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena ada anggotanya ikut mengkomsumsi dan mengedar barang haram tersebut.
Menurut Kapolda Aceh bahwa kesulitan petugas jajaran Polda Aceh dalam pengungkapan kasus peredaran narkoba karena dibekingi anggota polisi juga. Bagaimana mungkin polisi bisa menertibkan masyarakat, sementara masih ada oknum anggotanya yang terlibat peredaran narkoba.
Polisi konsisten terhadap pemberantasan peredaran narkoba dijajarannya. Untuk dapat melakukan pemberantasan tersebut, maka Peraturan Kapolda (Perkap) Aceh tentang sanksi terhadap personel polisi yang terindikasi mengkonsumsi narkoba sudah mulai diberlakukan. Sanksi yang diberikan bagi personel polisi yang terindikasi mengkonsumsi narkoba; yakni (1) bintara hingga perwira Polri di Aceh yang terindikasi menggunakan narkoba, diberi sanksi penghentian gaji berkala dan tunjangan kinerja (remunerasi); (2) tidak mendapat jabatan; (3) tidak mendapatkan hak atas pengusulan pangkat; (4) tidak mempunyai hak pendidikan; (5) sanksi ini berlaku sampai polisi yang bersangkutan benar-benar sembuh dari ketergantungan.
Kepolisian Daerah Aceh mengharapkan partisipasi dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, karena jika aparat saja yang bertugas di lapangan tanpa dibantu masyarakat, tidak akan berarti apa-apa. Apalagi dilema selama ini, polisi sangat kesulitan menangkap bandar besar, karena masyarakat kurang mendukung serta minimnya informasi yang diberikan.
Sejalan dengan itu, Kasdam Iskandar Muda (Brigjend TNI M.Sahil) menegaskan kepada anggotanya: kalau seorang prajurit bersenjata mengkonsumsi narkoba sampai mabuk, maka prajurit lainnya terancam tertembak, maka ancaman bagi prajurit tersebut adalah harus dipecat.
Tidak terlepas dari hal tersebut, peran orang tua agar mewaspadai gerak-gerik, tingkah laku anak-anaknya agar tidak sampai terjerumus kedalam  bahaya narkoba yang akan merusak prestasi dan nama baik orang tua. Selayaknya, di desa-desa dihidupkan kembali pengajian rutin bagi kalangan muda, sehingga masyarakat umum akan terhindar dari bahaya narkoba. Oleh karena itu, pencegahannya harus menjadi satu bagian dari agama, penerapan syariat menjadi solusi tepat, tentunya harus masuk ke dalam qanun. Selain itu, penanggulangan dan pemberantasan narkoba dengan pencegahan yang preventif di luar penegakan hukum yang tegas, seperti penyuluhan, kampanye dan pendidikan.

Tidak ada komentar: