Kamis, 02 Agustus 2012

Pemimpin Ideal Menuju 2014 Oleh : Taufik Hidayat,SH.


Berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini, misalnya hukum, ekonomi dan sosial  membuat kita galau untuk menentukan sikap siapa sesungguhnya yang layak dipilih untuk memimpin bangsa ini pada 2014 nanti. Sederetan nama-nama tokoh mencuat kembali dipermukaan turut ambil bagian dalam bursa calon orang nomor satu (presiden) di republik ini.
Tentunnya, rakyat harus cermat dan bijak bahwa sederatan tokoh-tokoh tersebut punya segudang persoalan yang tak mungkin untuk diabaikan, misal masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, Lumpur, dan lain sebagainya yang dapat dilihat dari track and recordnya (rekam jejak) pada media massa, entah itu surat kabar atau televisi.
Perlu diingat pula, sedari dini mereka telah menyuguhkan black campaign (kampanye terselubung) melalui media semisal jejaring sosial, entah itu facebook, twitter, dan lain sebagainya, guna merebut hati rakyat pada pemilu mendatang.
Sejarah suksesi kepemimpinan kita pada masa yang telah berlalu itu sangat mirip dengan ritus-ritus primitif yang telah berlangsung ribuan tahun lalu, yang mengorbankan darah dan nyawa rakyat sebagai tumbal bagi sebuah datangnya (presiden) baru. Inikah abad global dengan alam.
Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih pemimpin 2014 mendatang, diantaranya adalah pertama; Pemimpin Bersih dan Bebas. Pemimpin 2014 mendatang, selayaknya tidak pernah punya hubungan dengan pemimpin terdahulu apalagi pernah memangku jabatan pada masanya. Artinya, agar benih-benih dosa masa lalu berupa korupsi tidak sempat tertanam apa lagi sampai mendarah daging sehingga tertular kepada pemimpin yang baru terpilih nanti. Kedua; Pemimpin Muda. Teringatlah kita pada sebuah slogan “Yang Muda Yang Memimpin”. Ini merupakan refleksi kebosanan terhadap program-program tokoh-tokoh tua yang selalu saja mengumbar janji palsu dan lihai mengelabui rakyat. Oleh sebab itu, diharapkan pemimpin muda ini mampu berkarya dan berkreatifitas membawa negeri ini ke arah yang bersih dari persoalan korupsi dan kolusi serta nepotisme yang pada gilirannya bermuara pada keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Ketiga; Pemimpin Religius. Bahwa faktor ini adalah faktor yang tentunya tidak bisa diabaikan, sebab filter pemimpin yang berkualitas merupakan taat terhadap agamanya dan takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sudah barang tentu, yang dikatakan religius dini bukanlah sekedar simbol. Misalnya, calon pemimpin dari kalangan muslim, memakai pakaian gamis/bersurban, berjenggot, menyambambangi pesantren ketika dekat masa pemungutan suara atau jika calonnya dari seorang kristiani, sering ke gereja tiap minggu, dan sebagainya calon dari agamas lain. Hemat saya, bukan itu inti dari religius. Namun, religius tersebut terbit dari keikhlasan pribadi yang melaksanakannya, bukan pamer dengan simbol-simbol. Masyarakat telah mampu dan pintar untuk menilai itu nantinya dan dari sudut inilah diberikan harapan dalam bingkai bineka tunggal ika untuk melaksanakan kebebasan beragama dan bertoleransi. Keempat; Seorang pemimpin harus ahli sehingga dapat dipercaya, juga perlu jujur dan cerdas. Karena jika seorang pemimpin tidak cerdas maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah rakyatnya dan ia tidak dapat memajukan apa yang dipimpinnya. Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Kelima; Punya Rasa Malu. Dalam praktek kita dapat temukan karakter pemimpin yang tidak punya malu. Misalnya, seorang mantan pemimpin yang tersandung masalah hukum sebut saja korupsi, padahal vonis hukuman  yang dijatuhkan kepadanya belum selesai dijalani. Tetapi, dalam suksesi pemilu yang sedang berlangsung, dia turut meramaikan bursa calon pemimpin. Nah, secara logis, seyogyanya yang bersangkutan malu. Bagaimana mungkin pula rakyat memilih mantan pemimpin yang korup dan saat ini berstatus nara pidana. Meskipun,konteks hak asasi manusia dan konstitusi memberi jaminan dan perlindungan hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun, apalah jadinya republik ini, jika koruptor menjadi pemimpin (presiden). Seharusnya, seorang pemimpin memiliki sikap yang berwibawa, agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya. Keenam; Pemerataan Kesempatan. Poin ini tidaklah bermaksud untuk mendeskreditkan suku atau daerah lain. Faktanya, bahwa sejak zaman orde lama sampai orde reformasi saat ini, tercatat dalam sejarah bangsa yang pernah dan selalu memimpin republik ini selalu putra/putri berasal dari sekitar pulau dimana ibu kota republik ini berada. Sudah barang tentu, penulis berharap pada 2014 yang akan datang akan muncul tokoh baru dari daerah lain sesuai dengan kriteria tersebut diatas.
Tidak terlepas dari semua itu, secara umum seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara, mampu memberi semangat kepada rakyat ditengah suasana suka ataupun duka, menjadi teladan bagi rakyat untuk berbuat kebaikan, mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyat yang bermacam-macam, selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bersifat kasih sayang terhadap rakyat, berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu, bermurah hati (melayani) rakyat untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyat.
Sehingga, esesnsi menjadi pemimpin (presiden) merupakan amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik, karena kelak Tuhan Yang Maha Esa akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Karena itu hendaklah menjadi seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan Tuhan Yang Maha Esa saja dan sesungguhnya kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
Semoga pemilu 2014 mendatang terpilih pemimpin yang amanah dan menjadi babak baru bagi perubahan republik ini ke arah yang lebih baik lagi, sehingga persoalan yang dihadapi bangsa selama ini dapat dituntaskan.

Tidak ada komentar: