Berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini, misalnya hukum, ekonomi dan
sosial membuat kita galau untuk
menentukan sikap siapa sesungguhnya yang layak dipilih untuk memimpin bangsa
ini pada 2014 nanti. Sederetan nama-nama tokoh mencuat kembali dipermukaan
turut ambil bagian dalam bursa calon orang nomor satu (presiden) di republik ini.
Tentunnya, rakyat harus cermat dan bijak bahwa sederatan tokoh-tokoh
tersebut punya segudang persoalan yang tak mungkin untuk diabaikan, misal
masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, Lumpur, dan lain sebagainya yang dapat dilihat
dari track and recordnya (rekam jejak) pada media massa, entah itu surat kabar
atau televisi.
Perlu diingat pula, sedari dini mereka telah menyuguhkan black campaign
(kampanye terselubung) melalui media semisal jejaring sosial, entah itu
facebook, twitter, dan lain sebagainya, guna merebut hati rakyat pada pemilu
mendatang.
Sejarah suksesi
kepemimpinan kita pada masa yang telah berlalu itu sangat mirip dengan
ritus-ritus primitif yang telah berlangsung ribuan tahun lalu, yang
mengorbankan darah dan nyawa rakyat sebagai tumbal bagi sebuah datangnya
(presiden) baru. Inikah abad global dengan alam.
Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan
dalam memilih pemimpin 2014 mendatang, diantaranya adalah pertama; Pemimpin Bersih dan
Bebas. Pemimpin 2014 mendatang, selayaknya tidak pernah punya hubungan
dengan pemimpin terdahulu apalagi pernah memangku jabatan pada masanya.
Artinya, agar benih-benih dosa masa lalu berupa korupsi tidak sempat tertanam
apa lagi sampai mendarah daging sehingga tertular kepada pemimpin yang baru
terpilih nanti. Kedua; Pemimpin Muda. Teringatlah kita pada
sebuah slogan “Yang Muda Yang Memimpin”. Ini merupakan refleksi kebosanan terhadap
program-program tokoh-tokoh tua yang selalu saja mengumbar janji palsu dan lihai
mengelabui rakyat. Oleh sebab itu, diharapkan pemimpin muda ini mampu berkarya
dan berkreatifitas membawa negeri ini ke arah yang bersih dari persoalan
korupsi dan kolusi serta nepotisme yang pada gilirannya bermuara pada keadilan,
kesejahteraan dan kemakmuran. Ketiga;
Pemimpin Religius. Bahwa faktor ini
adalah faktor yang tentunya tidak bisa diabaikan, sebab filter pemimpin yang
berkualitas merupakan taat terhadap agamanya dan takut kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Sudah barang tentu, yang dikatakan religius dini bukanlah sekedar simbol.
Misalnya, calon pemimpin dari kalangan muslim, memakai pakaian gamis/bersurban,
berjenggot, menyambambangi pesantren ketika dekat masa pemungutan suara atau
jika calonnya dari seorang kristiani, sering ke gereja tiap minggu, dan
sebagainya calon dari agamas lain. Hemat saya, bukan itu inti dari religius.
Namun, religius tersebut terbit dari keikhlasan pribadi yang melaksanakannya,
bukan pamer dengan simbol-simbol. Masyarakat telah mampu dan pintar untuk menilai
itu nantinya dan dari sudut inilah diberikan harapan dalam bingkai bineka
tunggal ika untuk melaksanakan kebebasan beragama dan bertoleransi. Keempat; Seorang pemimpin harus ahli sehingga dapat dipercaya, juga perlu
jujur dan cerdas. Karena jika seorang pemimpin tidak cerdas maka ia tidak dapat
menyelesaikan masalah rakyatnya dan ia tidak dapat memajukan apa yang
dipimpinnya. Dalam
kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the
Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Kelima; Punya Rasa Malu. Dalam praktek kita dapat temukan karakter pemimpin
yang tidak punya malu. Misalnya, seorang mantan pemimpin yang tersandung
masalah hukum sebut saja korupsi, padahal vonis hukuman yang dijatuhkan kepadanya belum selesai
dijalani. Tetapi, dalam suksesi pemilu yang sedang berlangsung, dia turut
meramaikan bursa calon pemimpin. Nah, secara logis, seyogyanya yang
bersangkutan malu. Bagaimana mungkin pula rakyat memilih mantan pemimpin yang
korup dan saat ini berstatus nara pidana. Meskipun,konteks hak asasi manusia
dan konstitusi memberi jaminan dan perlindungan hak yang sama untuk memilih dan
dipilih. Namun, apalah jadinya republik ini, jika koruptor menjadi pemimpin
(presiden). Seharusnya, seorang pemimpin memiliki sikap yang berwibawa, agar rakyat
yang dipimpinnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya. Keenam; Pemerataan Kesempatan. Poin ini tidaklah bermaksud untuk
mendeskreditkan suku atau daerah lain. Faktanya, bahwa sejak zaman orde lama
sampai orde reformasi saat ini, tercatat dalam sejarah bangsa yang pernah dan
selalu memimpin republik ini selalu putra/putri berasal dari sekitar pulau
dimana ibu kota republik ini berada. Sudah barang tentu, penulis berharap pada
2014 yang akan datang akan muncul tokoh baru dari daerah lain sesuai dengan kriteria
tersebut diatas.
Tidak terlepas dari semua itu, secara
umum seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya
untuk membangun bangsa dan negara, mampu memberi semangat kepada rakyat ditengah
suasana suka ataupun duka, menjadi teladan bagi rakyat untuk berbuat kebaikan,
mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat
rakyat yang bermacam-macam, selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan
derajat dan martabatnya, bersifat kasih sayang terhadap rakyat, berwibawa dan
berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu, bermurah hati
(melayani) rakyat untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyat.
Sehingga, esesnsi menjadi pemimpin (presiden) merupakan amanah yang harus
dilaksanakan dan dijalankan dengan baik, karena kelak Tuhan Yang Maha Esa akan
meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Karena itu
hendaklah menjadi seorang pemimpin hanya karena mencari keridhoan Tuhan Yang
Maha Esa saja dan sesungguhnya kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab
dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
Semoga pemilu 2014 mendatang terpilih
pemimpin yang amanah dan menjadi babak baru bagi perubahan republik ini ke arah
yang lebih baik lagi, sehingga persoalan yang dihadapi bangsa selama ini dapat
dituntaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar