Rabu, 01 Agustus 2012

Pembalakan Liar Undang Bencana di Aceh OLEH: TAUFIK HIDAYAT,SH.


Mengawali tulisan ini, perlu kiranya kita bermuhasabah atau istilah keren yang lebih dikenal melakukan instrospeksi diri. Apa sesungguhnya yang menyebabkan alam hari ini tidak begitu bersahabat dengan kita (manusia), ataukah kita tidak mau lagi bersahabat dengan alam.
Kerusakan lingkungan, bukan sekedar merusak alam, efeknya sudah sama-sama kita rasakan selama ini. Potensi bencana yang ditimbulkan dikemudian hari juga tidak kecil. Makanya tak heran bila kita sering mendengar tanah longsor dan banjir bandang. Bukan hanya harta benda, jiwa pun turut menjadi korban keganasannya.
Meskipun payung hukum untuk melindungi kawasan hutan dari pembalakan liar telah diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Namun, beragam alasan diperoleh dari para pelaku pembalakan liar yang diproses hukum, diantaranya adalah: Satu; Memenuhi Kebutuhan Hidup Keluarga. Biasanya dan sering kali pelaku yang ditangkap oleh polisi hutan (Polhut), tim gabungan atau aparat kepolisian dalam razia, bukanlah pelaku utamanya (tauke/cukong) tapi pekerja/buruh kecil. Terkadang, usia mereka masih belia dan ada juga yang masih berusia angkatan kerja produktif. Mereka bekerja dibayar dengan upah yang kecil. Dengan harapan, meskipun upah yang didapat tak sebanding dengan resiko pekerjaan, asalkan dapat menyambung hidup keluarga hari ini, cukup dan tak apa bagi mereka.  Kedua; Terbatasnya Lapangan Kerja. Konflik yang berkepanjangan (30-an tahun lebih), kemudian disusul dengan bencana gempa dan tsunami yang menerjang Aceh 2004 lalu. Bukan tak berdasar yang menyebabkan kurangnya lapangan kerja di Aceh dan menurunnya kualitas sumber daya manusia akibat rendahnya pendidikan yang dikecap. Aceh yang begitu kaya dan dikenal dengan sebutan daerah modal. Namun, tak seimbang kekayaan yang dimiliki dengan pemerataan perekonomian yang nyata kita lihat saat ini. Sehingga, berdampaklah pada terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi usia produktif. Mau tidak mau, pembalakan liar, menjadi tumbal atas keterbatasan tersebut. Ketiga; Tergiur harga kayu yang menjanjikan. Pada dasarnya, yang menjadi daya tarik maraknya pembalakan liar adalah harga kayu dari hasil pembalakan liar tersebut cukup tinggi dan cukup menjanjikan di pasaran. Sayangnya, hasil yang menjanjikan itu hanya dinikmati oleh tauke/cukong saja. Sementara, pekerja yang saya sebutkan diatas tadi. Tidak mendapat apa-apa dan sering ketika mereka sedang melakukan aktifitas kepergok dan ditangkap aparat. Maka, pribahasa yang tepat untuk mengungkapkan situasi yang demikian adalah “orang lain makan nangkanya, kita yang kena getahnya” atau sekonyong-konyong kita bisa berpikir bahwa “ sudah jatuh ketimpa tangga pula”.
Hutan Aceh yang masih perawan dan belum terjamah sama sekali, sangat mendukung dan menjadi daya tarik tersendiri terjadinya pembalakan liar. Tingginya angka kasus pembalakan liar di sejumlah tempat di Mekah wilayah Bumi Serambi, sudah selayaknya menjadi perhatian kita bersama. Tercatat sepanjang periode 2011, sebanyak 6 (enam) kasus pembalakan liar terjadi di wilayah hukum Kepolisian Resort Aceh Besar.
Masih dalam tahun yang sama, menurut data yang penulis miliki berupa kliping koran yang bersumber dari Harian Serambi, tercatat sebanyak 10 (sepuluh) kasus pembalakan liar terjadi di sejumlah tempat dalam wilayah hukum Kepolisian Daerah Aceh. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Aceh Timur 1 (satu) kasus, Aceh Besar 1 (satu) kasus, Banda Aceh 1 (satu) kasus, Aceh Tenggara 3 (tiga) kasus, Nagan Raya 1 (kasus), Aceh Tamiang 1 (satu) kasus, Bireueun 1 (satu) kasus, dan Pidie 1 (satu) kasus.
            Maraknya pembalakan liar merupakan penyebab terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di Aceh. Harusnya, musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai kabupaten/kota di Aceh, seperti banjir bandang di Aceh Tamiang akhir tahun 2006, banjir bandang di Tangse, Pidie pada Maret 2011 dan Februari 2012 yang lalu dan disusul dengan banjir bandang di Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Aceh Jaya beberapa bulan lalu dapat dijadikan pelajaran.
Esensinya, kerusakan parah hutan akibat pembalakan liar semakin mengkhawatirkan dan telah menyebabkan kerusakan ekosistem alam diatas ambang kewajaran. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, sejak lima tahun terakhir, setidaknya tercatat dan terjadi 858 kali musibah banjir dan 188 kali lebih musibah tanah longsor di berbagai daerah di Aceh dan sejak lima bulan ini saja, sudah terjadi 20 kali musibah banjir di sejumlah daerah. Dampak dari pembalakan liar tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna mencegah kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Harus diingat juga bahwa, kurangnya kontrol dan penegakan hukum, bisa semakin mempercepat terjadinya proses kerusakan hutan dan lingkungan di Aceh.
Pada prinsipnya hutan sebagai penyangga kehidupan merupakan kepentingan bersama yang menuntut adanya tanggungjawab dan peran serta seluruh masyarakat untuk mempertahankan keberadaannya, menjaga dan melestarikannya. Padahal, bila kita arif menjaga dan merawat lingkungan, tentu potensi bencana akan kurang, sehingga  menunjang bagi peningkatan kesejahteraan hidup generasi masa kini dan masa depan. Sejauh ini, berbagai program seperti penanaman kembali hutan-hutan yang gundul atau reboisasi yang dilakukan masih sebatas seremonial saja.

Tidak ada komentar: