Mengawali
tulisan ini, perlu kiranya kita bermuhasabah atau istilah keren yang lebih
dikenal melakukan instrospeksi diri. Apa sesungguhnya yang menyebabkan alam
hari ini tidak begitu bersahabat dengan kita (manusia), ataukah kita tidak mau
lagi bersahabat dengan alam.
Kerusakan
lingkungan, bukan sekedar merusak alam, efeknya sudah sama-sama kita rasakan
selama ini. Potensi bencana yang ditimbulkan dikemudian hari juga tidak kecil.
Makanya tak heran bila kita sering mendengar tanah longsor dan banjir bandang. Bukan
hanya harta benda, jiwa pun turut menjadi korban keganasannya.
Meskipun
payung hukum untuk melindungi kawasan hutan dari pembalakan liar telah
diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Undang-Undang No.41 Tahun 1999
tentang Kehutanan). Namun, beragam alasan diperoleh dari para pelaku pembalakan
liar yang diproses hukum, diantaranya adalah: Satu; Memenuhi Kebutuhan Hidup Keluarga. Biasanya dan sering kali
pelaku yang ditangkap oleh polisi hutan (Polhut), tim gabungan atau aparat
kepolisian dalam razia, bukanlah pelaku utamanya (tauke/cukong) tapi
pekerja/buruh kecil. Terkadang, usia mereka masih belia dan ada juga yang masih
berusia angkatan kerja produktif. Mereka bekerja dibayar dengan upah yang
kecil. Dengan harapan, meskipun upah yang didapat tak sebanding dengan resiko
pekerjaan, asalkan dapat menyambung hidup keluarga hari ini, cukup dan tak apa
bagi mereka. Kedua; Terbatasnya Lapangan Kerja.
Konflik yang berkepanjangan (30-an tahun lebih), kemudian disusul dengan
bencana gempa dan tsunami yang menerjang Aceh 2004 lalu. Bukan tak berdasar
yang menyebabkan kurangnya lapangan kerja di Aceh dan menurunnya kualitas
sumber daya manusia akibat rendahnya pendidikan yang dikecap. Aceh yang begitu
kaya dan dikenal dengan sebutan daerah modal. Namun, tak seimbang kekayaan yang
dimiliki dengan pemerataan perekonomian yang nyata kita lihat saat ini.
Sehingga, berdampaklah pada terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi
usia produktif. Mau tidak mau, pembalakan liar, menjadi tumbal atas
keterbatasan tersebut. Ketiga; Tergiur harga kayu yang menjanjikan.
Pada dasarnya, yang menjadi daya tarik maraknya pembalakan liar adalah harga
kayu dari hasil pembalakan liar tersebut cukup tinggi dan cukup menjanjikan di
pasaran. Sayangnya, hasil yang menjanjikan itu hanya dinikmati oleh
tauke/cukong saja. Sementara, pekerja yang saya sebutkan diatas tadi. Tidak
mendapat apa-apa dan sering ketika mereka sedang melakukan aktifitas kepergok dan
ditangkap aparat. Maka, pribahasa yang tepat untuk mengungkapkan situasi yang
demikian adalah “orang lain makan nangkanya, kita yang kena getahnya” atau
sekonyong-konyong kita bisa berpikir bahwa “ sudah jatuh ketimpa tangga pula”.
Hutan
Aceh yang masih perawan dan belum terjamah sama sekali, sangat mendukung dan
menjadi daya tarik tersendiri terjadinya pembalakan liar. Tingginya angka kasus
pembalakan liar di sejumlah tempat di Mekah wilayah Bumi Serambi, sudah
selayaknya menjadi perhatian kita bersama. Tercatat sepanjang periode 2011,
sebanyak 6 (enam) kasus pembalakan liar terjadi di wilayah hukum Kepolisian
Resort Aceh Besar.
Masih
dalam tahun yang sama, menurut data yang penulis miliki berupa kliping koran
yang bersumber dari Harian Serambi, tercatat sebanyak 10 (sepuluh) kasus
pembalakan liar terjadi di sejumlah tempat dalam wilayah hukum Kepolisian
Daerah Aceh. Wilayah-wilayah tersebut meliputi Aceh Timur 1 (satu) kasus, Aceh
Besar 1 (satu) kasus, Banda Aceh 1 (satu) kasus, Aceh Tenggara 3 (tiga) kasus,
Nagan Raya 1 (kasus), Aceh Tamiang 1 (satu) kasus, Bireueun 1 (satu) kasus, dan
Pidie 1 (satu) kasus.
Maraknya
pembalakan liar merupakan penyebab terjadinya banjir bandang dan tanah longsor
di Aceh. Harusnya, musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi di berbagai
kabupaten/kota di Aceh, seperti banjir bandang di Aceh Tamiang akhir tahun
2006, banjir bandang di Tangse, Pidie pada Maret 2011 dan Februari 2012 yang
lalu dan disusul dengan banjir bandang di Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Aceh
Jaya beberapa bulan lalu dapat dijadikan pelajaran.
Esensinya,
kerusakan parah hutan akibat pembalakan liar semakin mengkhawatirkan dan telah
menyebabkan kerusakan ekosistem alam diatas ambang kewajaran. Menurut Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, sejak lima tahun terakhir, setidaknya tercatat
dan terjadi 858 kali musibah banjir dan 188 kali lebih musibah tanah longsor di
berbagai daerah di Aceh dan sejak lima bulan ini saja, sudah terjadi 20 kali
musibah banjir di sejumlah daerah. Dampak dari pembalakan liar tidak dapat
dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku guna mencegah kerusakan hutan yang disebabkan
oleh perbuatan manusia. Harus diingat juga bahwa, kurangnya kontrol dan
penegakan hukum, bisa semakin mempercepat terjadinya proses kerusakan hutan dan
lingkungan di Aceh.
Pada
prinsipnya hutan sebagai penyangga kehidupan merupakan kepentingan bersama yang
menuntut adanya tanggungjawab dan peran serta seluruh masyarakat untuk
mempertahankan keberadaannya, menjaga dan melestarikannya. Padahal, bila kita
arif menjaga dan merawat lingkungan, tentu potensi bencana akan kurang,
sehingga menunjang bagi peningkatan
kesejahteraan hidup generasi masa kini dan masa depan. Sejauh ini, berbagai
program seperti penanaman kembali hutan-hutan yang gundul atau reboisasi yang
dilakukan masih sebatas seremonial saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar