Rabu, 01 Agustus 2012

LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) DAN AROGANSINYA OLEH; TAUFIK HIDAYAT,SH.


Penyiksaan atau tindakan lain yang tidak bermartabat serta merendahkan warga binaan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Aceh maupun di Indonesia merupakan bentuk kriminal dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tentunya perbuatan tersebut juga merupakan cerminan prilaku buruk dari oknum petugas lapas. Kasus pemukulan yang terjadi baru-baru ini di Lapas Meulaboh merupakan contoh kuat yang membuktikan arogansi lapas sebagai tempat pembantaian, bukan sebagai tempat pembinaan.
Sepanjang bulan Desember 2011-Februari 2012, Working Group Against Torture (WGAT) mencatat sembilan kasus kematian tahanan/narapidana di tempat-tempat penahanan, seperti di Lembaga Pemasyarakatan.
Semestinya, dalam menjalankan tugas, petugas lapas harus sesuai dengan prosedur dan berpedoman pada Undang-Undang No.12 Tahun 1995, khususnya mengenai penegak hukum fungsional yang menjalankan tugas menyangkut warga binaan di Lapas.
Lapas merupakan semi pesantren, yang dimaksudkan untuk memberikan pembinaan kepada warga binaan atau tahanan dan nara pidana (napi) dalam hal pembinaan akhlak. Oleh karenanya, warga binaan tersebut jangan diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi.
Berdasarkan UU Hak Asasi Manusia, KUHAP, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik maupun Konvensi Menentang Penyiksaan dan UU Pemasyarakatan, tahanan maupun narapidana berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan fisik yang maksimal. Tahanan dan narapidana berhak untuk mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana halnya manusia bebas lainnya.
Sungguh disayangkan, jika seorang Kepala Lapas (Kalapas) pada salah satu lapas di Aceh pernah mengeluarkan pernyataan bahwa “ perlakuan kasar bawahannya terhadap warga binaan merupakan pembelajaran agar warga binaan tersebut tidak lagi mengulangi perbuatannya”. Perlu kita sadari bahwa sebenarnya pihak lapas merupakan penyumbang masalah pada lapas itu sendiri, yaitu perilaku mereka sendiri. Semestinya, Lapas menjadi tempat pembinaan warga binaan sebelum mereka dikembalikan ke tengah masyarakat  setelah habis menjalani masa hukum, bukan sebaliknya Lapas menjadi tempat pembantaian atau penghajaran. Lembaga Pemasyarakatan haruslah diartikan bukan hanya dari segi fisiknya belaka, melainkan juga dari sisi pembinaannya secara utuh. Hak-hak narapidana/warga binaan sesuai dengan perundangan dan peraturan yang ada perlu ditinjau kembali pelaksanaannya, agar sesuai dengan falsafah dan konsep pemasyarakatan yang kita anut.
BUDAYA KEKERASAN YANG MENGAKAR
Kekerasan di lapas hingga kini terus saja terjadi. Hal itu disebabkan lemahnya penegakan hukum serta masih kuatnya budaya kekerasan yang diterapkan di Indonesia khususnya lapas.
Kekerasan secara umum dipahami sebagai tindakan, perilaku, atau keadaan sosial yang mengakibatkan orang atau kelompok lain menderita, sengsara, terluka, bahkan meninggal dunia, selalu dipandang sebagai tindakan atau perbuatan tidak bermoral, tidak manusiawi, dan merusak basis kehidupan manusia. Sedangkan budaya merupakan sebuah proses dan hasil karya rohani manusia menjadi lebih baik (manusiawi). Keduanya sama-sama telah menjadi bagian dari sejarah manusia sampai saat ini. Lantas pertanyaanya, bagaimana bisa kedua kata yang bertolak belakang maknanya tersebut kerap dijadikan satu menjadi “budaya kekerasan”?
Menurut Dawam Raharjo, istilah “budaya kekerasan” adalah sebuah contradiction in terminis. Agaknya istilah itu semula berasal dari ucapan menyindir bahwa “kekerasan telah membudaya”. Maksudnya adalah bahwa kekerasan telah menjadi perilaku umum. Frekuensi pemberitaannya di media massa mempertegas bahwa gejolaknya sangat nampak dalam masyarakat. Tindak kekerasan yang umum terjadi bisa dilakukan secara individual maupun secara kolektif atau bersama-sama. Kekerasan yang dilakukan secara kolektif lebih berbahaya dibandingkan kekerasan yang dilakukan secara individual. Karena selain jumlah pelakunya lebih banyak, juga karena efek yang ditimbulkan lebih destruktif.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh sipir lapas di sejumlah lapas di Indonesia merupakan sebuah tragedi yang patut kita sayangkan. Bagaimana tidak, tragedi tersebut dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa, yaitu negara. Inilah yang menghasilkan apa yang disebut sebagai kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang digunakan oleh struktur kekuasaan yang dapat berupa aparat, tentara, pemerintah, dan atau birokrasi. Peradaban moderen memang secara de jure dan de facto memberi wewenang kepada negara sebagai satu-satunya institusi yang memiliki legitimasi melakukan kekerasan. Padahal kekerasan adalah tetap kekerasan yang memiliki unsur pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak menjadi soal siapa pelakunya.
Sejarah mengungkapkan bahwa pemerintahan ini dibesarkan dalam “budaya kekerasan”.  Tercatat peristiwa Madiun (1948), DI/TII (1960), PRRI/Permesta (1960), Peristiwa Aksi Sepihak (1964), Peristiwa G-30-S (1965), Pembunuhan Massal pasca G-30-S (1965-1966), Pemenjaraan, Penyiksaan, pembuangan massal pasca G-30-S (1966-1980), Pemenjaraan, Penyiksaan Kyai (1971), Peristiwa Tanjung Priok (1984), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Kudatuli (1996), Peristiwa Mei, Trisakti, Semanggi, Dukun Santet (1998), DOM Aceh (1980-2000), dan Tragedi Monas (2008) ditorehkan dalam lembar sejarah kelam bangsa ini. Jadi apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah saat ini merupakan “warisan budaya kekerasan” dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Karena kekerasan yang terjadi di dalam lapas berlangsung secara terus menerus dan setiap saat maka warga binaan menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala kekerasan. Tindakan-tindakan kekerasan kemudian akan dianggap suatu kewajaran. Ketidakpercayaan yang timbul akibat tindakan oknum sipir sebagai aparatur negara, juga menciptakan rasa tidak aman. Rasa aman yang semestinya dijamin oleh pemerintah ternyata tidak didapatkan. Ini menjadi salah satu faktor mengapa warga binaan kemudian merasa perlu untuk menjaga diri. Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan bisa berupa bergabung dalam suatu komunitas untuk melakukan sebuah tindakan, seperti melarikan diri, membakar ruang tahanan, mogok makan, dan lain sebagainya.
Akhirnya sebuah kata-kata bijak yang diungkapkan oleh Amstutz, “Ingatan bagi korban kekerasan masa lalu bukan hanya sekedar rekaman sebuah peristiwa, melainkan juga bentuk penagihan atas masa lalu yang pernah dideritanya sangat diperlukan untuk mendudukkan persoalan pada tempatnya untuk memulai hidup baru yang terbebas dari dendam sejarah”.
Adanya perbaikan sikap atau perilaku petugas lapas, agar masalah kekerasan tidak akan muncul kembali. Pemerintah perlu melakukan reformasi luar biasa di jajaran lapas hal ini terkait penyelenggaraan kewenangan mereka dan harus membentuk tim khusus pengawas Lapas yang bersifat permanen dan berkelanjutan serta secara rutin menyelidiki, mengawasi dan sering melakukan kunjungan mendadak untuk mengontrol kondisi lapas yang sebenarnya.

1 komentar:

Lapas Sarolangun mengatakan...

Sekarang lebih diarahkan ke Pembinaan..
Salam kenal dari kami Lapas Sarolangun