Penyiksaan atau tindakan lain yang tidak bermartabat serta merendahkan
warga binaan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Aceh maupun di
Indonesia merupakan bentuk kriminal dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),
tentunya perbuatan tersebut juga merupakan cerminan prilaku buruk dari oknum
petugas lapas. Kasus pemukulan yang terjadi baru-baru ini di Lapas Meulaboh
merupakan contoh kuat yang membuktikan arogansi lapas sebagai tempat
pembantaian, bukan sebagai tempat pembinaan.
Sepanjang bulan Desember 2011-Februari 2012, Working Group Against
Torture (WGAT) mencatat sembilan kasus kematian tahanan/narapidana di
tempat-tempat penahanan, seperti di Lembaga Pemasyarakatan.
Semestinya, dalam menjalankan tugas, petugas lapas harus sesuai dengan
prosedur dan berpedoman pada Undang-Undang No.12 Tahun 1995, khususnya mengenai
penegak hukum fungsional yang menjalankan tugas menyangkut warga binaan di
Lapas.
Lapas merupakan semi pesantren, yang dimaksudkan untuk memberikan
pembinaan kepada warga binaan atau tahanan dan nara pidana (napi) dalam hal
pembinaan akhlak. Oleh karenanya, warga binaan tersebut jangan diperlakukan
secara kasar dan tidak manusiawi.
Berdasarkan UU Hak Asasi Manusia, KUHAP, Kovenan Hak-hak Sipil dan
Politik maupun Konvensi Menentang Penyiksaan dan UU Pemasyarakatan, tahanan
maupun narapidana berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan fisik yang
maksimal. Tahanan dan narapidana berhak untuk mendapatkan perlakuan yang layak
sebagaimana halnya manusia bebas lainnya.
Sungguh disayangkan, jika seorang Kepala Lapas (Kalapas) pada salah satu
lapas di Aceh pernah mengeluarkan pernyataan bahwa “ perlakuan kasar bawahannya
terhadap warga binaan merupakan pembelajaran agar warga binaan tersebut tidak
lagi mengulangi perbuatannya”. Perlu kita sadari bahwa sebenarnya pihak lapas
merupakan penyumbang masalah pada lapas itu sendiri, yaitu perilaku mereka
sendiri. Semestinya, Lapas menjadi tempat pembinaan warga binaan sebelum mereka
dikembalikan ke tengah masyarakat
setelah habis menjalani masa hukum, bukan sebaliknya Lapas menjadi
tempat pembantaian atau penghajaran. Lembaga Pemasyarakatan haruslah diartikan
bukan hanya dari segi fisiknya belaka, melainkan juga dari sisi pembinaannya
secara utuh. Hak-hak narapidana/warga binaan sesuai dengan perundangan dan
peraturan yang ada perlu ditinjau kembali pelaksanaannya,
agar sesuai dengan falsafah dan konsep pemasyarakatan yang kita anut.
BUDAYA KEKERASAN YANG MENGAKAR
Kekerasan di lapas hingga kini terus saja terjadi. Hal itu disebabkan
lemahnya penegakan hukum serta masih kuatnya budaya kekerasan yang diterapkan
di Indonesia khususnya lapas.
Kekerasan secara umum dipahami sebagai tindakan, perilaku, atau keadaan
sosial yang mengakibatkan orang atau kelompok lain menderita, sengsara,
terluka, bahkan meninggal dunia, selalu dipandang sebagai tindakan atau
perbuatan tidak bermoral, tidak manusiawi, dan merusak basis kehidupan manusia.
Sedangkan budaya merupakan sebuah proses dan hasil karya rohani manusia menjadi
lebih baik (manusiawi). Keduanya sama-sama telah menjadi bagian dari sejarah
manusia sampai saat ini. Lantas pertanyaanya, bagaimana bisa kedua kata yang
bertolak belakang maknanya tersebut kerap dijadikan satu menjadi “budaya
kekerasan”?
Menurut Dawam Raharjo, istilah “budaya kekerasan” adalah sebuah contradiction in terminis. Agaknya
istilah itu semula berasal dari ucapan menyindir bahwa “kekerasan telah
membudaya”. Maksudnya adalah bahwa kekerasan telah menjadi perilaku umum.
Frekuensi pemberitaannya di media massa mempertegas bahwa gejolaknya sangat
nampak dalam masyarakat. Tindak kekerasan yang umum terjadi bisa dilakukan
secara individual maupun secara kolektif atau bersama-sama. Kekerasan yang
dilakukan secara kolektif lebih berbahaya dibandingkan kekerasan yang dilakukan
secara individual. Karena selain jumlah pelakunya lebih banyak, juga karena
efek yang ditimbulkan lebih destruktif.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh sipir lapas di sejumlah lapas di
Indonesia merupakan sebuah tragedi yang patut kita sayangkan. Bagaimana tidak,
tragedi tersebut dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa, yaitu negara.
Inilah yang menghasilkan apa yang disebut sebagai kekerasan struktural, yaitu
kekerasan yang digunakan oleh struktur kekuasaan yang dapat berupa aparat,
tentara, pemerintah, dan atau birokrasi. Peradaban moderen memang secara de jure dan de facto memberi wewenang kepada
negara sebagai satu-satunya institusi yang memiliki legitimasi melakukan
kekerasan. Padahal kekerasan adalah tetap kekerasan yang memiliki unsur
pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan
tidak menjadi soal siapa pelakunya.
Sejarah mengungkapkan bahwa pemerintahan ini dibesarkan dalam “budaya
kekerasan”. Tercatat peristiwa Madiun (1948), DI/TII (1960),
PRRI/Permesta (1960), Peristiwa Aksi Sepihak (1964), Peristiwa G-30-S (1965),
Pembunuhan Massal pasca G-30-S (1965-1966), Pemenjaraan, Penyiksaan, pembuangan
massal pasca G-30-S (1966-1980), Pemenjaraan, Penyiksaan Kyai (1971), Peristiwa
Tanjung Priok (1984), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Kudatuli (1996),
Peristiwa Mei, Trisakti, Semanggi, Dukun Santet (1998), DOM Aceh (1980-2000),
dan Tragedi Monas (2008) ditorehkan dalam lembar sejarah kelam bangsa ini. Jadi
apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah saat ini merupakan “warisan budaya
kekerasan” dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Karena kekerasan yang terjadi di dalam lapas berlangsung secara terus
menerus dan setiap saat maka warga binaan menjadi tidak peka bahkan menjadi
mati rasa terhadap gejala kekerasan. Tindakan-tindakan kekerasan kemudian akan
dianggap suatu kewajaran. Ketidakpercayaan yang timbul akibat tindakan oknum sipir
sebagai aparatur negara, juga menciptakan rasa tidak aman. Rasa aman yang
semestinya dijamin oleh pemerintah ternyata tidak didapatkan. Ini menjadi salah
satu faktor mengapa warga binaan kemudian merasa perlu untuk menjaga diri.
Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan bisa berupa bergabung dalam suatu
komunitas untuk melakukan sebuah tindakan, seperti melarikan diri, membakar
ruang tahanan, mogok makan, dan lain sebagainya.
Akhirnya sebuah kata-kata bijak yang diungkapkan oleh Amstutz, “Ingatan
bagi korban kekerasan masa lalu bukan hanya sekedar rekaman sebuah peristiwa,
melainkan juga bentuk penagihan atas masa lalu yang pernah dideritanya sangat
diperlukan untuk mendudukkan persoalan pada tempatnya untuk memulai hidup baru
yang terbebas dari dendam sejarah”.
Adanya perbaikan sikap atau
perilaku petugas lapas, agar masalah kekerasan tidak akan muncul kembali. Pemerintah
perlu melakukan reformasi luar biasa di jajaran lapas hal ini terkait
penyelenggaraan kewenangan mereka dan harus membentuk tim khusus pengawas Lapas
yang bersifat permanen dan berkelanjutan serta secara rutin menyelidiki,
mengawasi dan sering melakukan kunjungan mendadak untuk mengontrol kondisi
lapas yang sebenarnya.
1 komentar:
Sekarang lebih diarahkan ke Pembinaan..
Salam kenal dari kami Lapas Sarolangun
Posting Komentar