Dalam sidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya
pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib
mendamaikan para pihak yang berperkara. Menurut pasal 130 HIR
(Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah
ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua
mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat
dalam sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati
perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan
pengadilan biasa.
Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim
untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya
formalitas belaka. Pasal 130 dan 131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup
efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam sengketa dan mengurangi tumpukan
perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasal-pasal tersebut dalam
menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi teknis yang
lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung
(MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara
tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di
pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2),
dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui
hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan
kesepakatan.
Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara
pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang
berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi
membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa
yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu
dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar
pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat
mediator.
Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka
terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator
juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap
menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam proses mediasi,
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan
maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan
tidak memiliki kekuatan bukti.
Kekuatan Hukum Akta Perdamaian
Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan
Hukum Tetap
Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian
memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan
terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Mempunyai Kekuatan Eksekutorial
Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian
tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak
dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan.
Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding
Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi,
maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar