Disini kita menggunakan istilah mafia hukum untuk
menunjukkan praktik korup peradilan, karena kata ini dianggap mewakili jejaring
korupsi di lingkup peradilan dan penegak hukum. Kata ini juga menunjukkan pada
satu bentuk korupsi yang dilakukan oknum jaksa hingga oknum hakim di
Pengadilan.
Yang sering dijadikan apologi oleh
para petinggi penegak hukum tersebut adalah perilaku korup tersebut dilakukan
oleh oknum, bukan institusi. Tetapi, pertanyaannya jika yang melakukan perilaku
korup tersebut adalah semua orang yang ada dalam institusi, sulit kita
membedakan apakah ini oknum ataukah memang institusinya yang bobrok.
Uang menjadi suatu hal yang sangat
prinsipil dalam penyelesaian persoalan-persoalan hukum. Azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan hanya menjadi slogan saja, kenyataannya malah
berbelit-belit, lama dan mahal. Peradilan menjadi seperti kantor lelang yang
menjajakan dagangan hukumnya dengan variasi harga dengan penawaran tertinggi.
Jika demikian keadaanya, betapa buruk
dan menyedihkan nasib klien yang tidak mampu atau miskin. Ciri inilah yang
nampaknya masih belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat kita sehingga
banyak yang menyebutkan bahwa hukum tidak dapat menyentuh kaum elit karena
biasanya kasus-kasus yang melibatkan kaum elit akan di”peti-es”kan oleh
Kejaksaan dengan mengeluarkan SP3 (surat peintah penghentian penyidikan) atau
kalaupun sampai masuk ke pengadilan, maka akan dikenakan pemidanaan yang sangat
ringan atau putusan bebas dan kalaupun hal itu terjadi hanya mereka yang kalah
dalam bertarung sehingga menjadi tumbal hukum.
Mengutip pernytaan Mantan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia (Harifin Tumpa): “Sulit dibayangkan jika oknum hakim
dan jaksa sudah saling berjanji berapa hukuman yang akan diberikan, peradilan
menjadi sandiwara dan akhirnya tercabik-cabik.”
Fakta bahwa pengadilan-pengadilan yang
ada di republik ini, bekinerja lamban, rumit dan membutuhkan biaya mahal dalam
menyelesaikan suatu perkara. Belum terpenuhinya standar integritas moral aparat
penegak hukum selama ini, khususnya hakim sebagai ujung tombak dalam penegakan
hukum (law enforcement) di Indonesia
merupakan suatu kendala terwujudnya peradilan yang bersih dari KKN (Korups,
Kolusi dan Nepotisme). Pengadilan seharusnya wajib secara mandiri
memperlihatkan kedewasaan berpola pikir yang objektif serta berprilaku adil dan
benar. Jika tidak demikian, lambat laun tanpa disadari dan rasakan, akan muncul
fenomena dalam wujud suatu proses pembusukan yang sungguh menyakitkan.
Sehingga, wajar-wajar saja kalau hukum di Indonesia masih dikatakan
bobrok,hakimnya saja masih belum beres. Kondisi hukum seperti inilah yang
dilihat masyarakat sebagai keterpurukan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum sehingga timbullah ide seperti yang diungkapkan Faisal Basri: perlunya hakim impor.
Sejak Januari hingga awal Mei 2011, Komisi Yudisial
menemukan 1.000 hakim nakal di seluruh pengadilan negeri di Indonesia. Seribu
hakim nakal itu adalah mereka yang memanfaatkan posisinya untuk mengambil
keuntungan materi secara pribadi. (Harian Serambi, 8 Mei 2011, hal.5)
Kekhawatiran yang menonjol selama ini
adalah ketidakmampuan para hakim untuk menahan hawa nafsu guna memenuhi
tuntutan duniawi dengan cara-cara mengkomersialisasikan hukum.Masih tingginya
angka kejahatan korupsi yang dilakukan oleh hampir semua instansi khususnya
peradilan di Indonesia merupakan faktor penghambat tercapainya keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Bahkan, saat ini orang sepertinya tidak lagi merasa
malu menyandang predikat tersangka kasus korupsi, sehingga perbuatan korupsi
tersebut seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang biasa/lumrah untuk dilakukan.
Bangsa Indonesia telah menobatkan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa. Karena itu, adalah logis kalau korupsi harus
dihadapi dengan cara-cara luar biasa pula. Sayangnya, secara filosofis
penerapan hukum di Indonesia masih sebatas pada keadilan di permukaan dan lebih
bersifat formalitas.
Memahami persoalan diatas, tentunya
kita dapat bercermin pada persoalan-persoalan hukum di tanah air, sebutlah
“tuntutan reformasi” ditahun 1998. Kesulitan yang paling krusial adalah,
darimana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini.
Meminjam istilah Julia Kristeva (Pemikir Post modernis), inilah sebuah kondisi
objektif, yaitu suatu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dan tidak
ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan dimana setiap orang
tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk mempermainkan hukum. Ada yang
menangis, tertawa, berjualan, telanjang, tidak punya malu dan ada apa saja
didalamnya.
Bahwa Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga
pengadilan tertinggi haruslah berada dalam keadaan yang bukan saja bersih,
jujur, benar dan adil, tetapi juga harus memiliki kemandirian dari campur
tangan pihak manapun. Itu berarti sebagai implikasi dan konsekuensi lebih
lanjut bahwa para hakim yang berada dibawah lembaga tersebut haruslah
manusia-manusia yang bukan saja memiliki intelektualitas yang dapat diandalkan,
melainkan juga etik, moral dan integritas mereka harus terpuji.
Guna membenahi kembali kinerja MA
dalam mengangkat citra supremasi hukum, maka perlu dikaji kembali suatu aspek
yang sangat esensial yaitu pembenahan perilaku hakim yang berintikan etika
religi, yakni moralitas. Dalam bingkai pemikiran yang demikian, diperlukan
penanganan yang serius dengan cara melakukan pengawasan dunia peradilan yang
bersinergi dengan pengawasan hakim dan jaksa, sehingga mampu mencegah praktik
korupsi di lingkup peradilan.
Selain daripada itu, diwujudkannya
masyarakat madani di era ini adalah terciptanya suatu masyarakat yang tak
berkelas (a classless society) yaitu
hukum yang tidak membedakan to have dan the have not. Semua sama di depan
hukum, dalam kondisi masyarakat yang demikian segala bentuk monopoli dan mafia
hukum di peradilan tidak bisa tumbuh dan berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar