Rabu, 01 Agustus 2012

Mafia Hukum Dunia Peradilan Oleh: Taufik Hidayat,SH.


Disini kita menggunakan istilah mafia hukum untuk menunjukkan praktik korup peradilan, karena kata ini dianggap mewakili jejaring korupsi di lingkup peradilan dan penegak hukum. Kata ini juga menunjukkan pada satu bentuk korupsi yang dilakukan oknum jaksa hingga oknum hakim di Pengadilan.
Yang sering dijadikan apologi oleh para petinggi penegak hukum tersebut adalah perilaku korup tersebut dilakukan oleh oknum, bukan institusi. Tetapi, pertanyaannya jika yang melakukan perilaku korup tersebut adalah semua orang yang ada dalam institusi, sulit kita membedakan apakah ini oknum ataukah memang institusinya yang bobrok.
Uang menjadi suatu hal yang sangat prinsipil dalam penyelesaian persoalan-persoalan hukum. Azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan hanya menjadi slogan saja, kenyataannya malah berbelit-belit, lama dan mahal. Peradilan menjadi seperti kantor lelang yang menjajakan dagangan hukumnya dengan variasi harga dengan penawaran tertinggi.
Jika demikian keadaanya, betapa buruk dan menyedihkan nasib klien yang tidak mampu atau miskin. Ciri inilah yang nampaknya masih belum dipahami oleh sebagian besar masyarakat kita sehingga banyak yang menyebutkan bahwa hukum tidak dapat menyentuh kaum elit karena biasanya kasus-kasus yang melibatkan kaum elit akan di”peti-es”kan oleh Kejaksaan dengan mengeluarkan SP3 (surat peintah penghentian penyidikan) atau kalaupun sampai masuk ke pengadilan, maka akan dikenakan pemidanaan yang sangat ringan atau putusan bebas dan kalaupun hal itu terjadi hanya mereka yang kalah dalam bertarung sehingga menjadi tumbal hukum.
Mengutip pernytaan Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (Harifin Tumpa): “Sulit dibayangkan jika oknum hakim dan jaksa sudah saling berjanji berapa hukuman yang akan diberikan, peradilan menjadi sandiwara dan akhirnya tercabik-cabik.” 
Fakta bahwa pengadilan-pengadilan yang ada di republik ini, bekinerja lamban, rumit dan membutuhkan biaya mahal dalam menyelesaikan suatu perkara. Belum terpenuhinya standar integritas moral aparat penegak hukum selama ini, khususnya hakim sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia merupakan suatu kendala terwujudnya peradilan yang bersih dari KKN (Korups, Kolusi dan Nepotisme). Pengadilan seharusnya wajib secara mandiri memperlihatkan kedewasaan berpola pikir yang objektif serta berprilaku adil dan benar. Jika tidak demikian, lambat laun tanpa disadari dan rasakan, akan muncul fenomena dalam wujud suatu proses pembusukan yang sungguh menyakitkan. Sehingga, wajar-wajar saja kalau hukum di Indonesia masih dikatakan bobrok,hakimnya saja masih belum beres. Kondisi hukum seperti inilah yang dilihat masyarakat sebagai keterpurukan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum sehingga timbullah ide seperti yang diungkapkan Faisal Basri: perlunya hakim impor.
             Sejak Januari hingga awal Mei 2011, Komisi Yudisial menemukan 1.000 hakim nakal di seluruh pengadilan negeri di Indonesia. Seribu hakim nakal itu adalah mereka yang memanfaatkan posisinya untuk mengambil keuntungan materi secara pribadi. (Harian Serambi, 8 Mei 2011, hal.5)
Kekhawatiran yang menonjol selama ini adalah ketidakmampuan para hakim untuk menahan hawa nafsu guna memenuhi tuntutan duniawi dengan cara-cara mengkomersialisasikan hukum.Masih tingginya angka kejahatan korupsi yang dilakukan oleh hampir semua instansi khususnya peradilan di Indonesia merupakan faktor penghambat tercapainya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, saat ini orang sepertinya tidak lagi merasa malu menyandang predikat tersangka kasus korupsi, sehingga perbuatan korupsi tersebut seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang biasa/lumrah untuk dilakukan.
 Bangsa Indonesia telah menobatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Karena itu, adalah logis kalau korupsi harus dihadapi dengan cara-cara luar biasa pula. Sayangnya, secara filosofis penerapan hukum di Indonesia masih sebatas pada keadilan di permukaan dan lebih bersifat formalitas.
Memahami persoalan diatas, tentunya kita dapat bercermin pada persoalan-persoalan hukum di tanah air, sebutlah “tuntutan reformasi” ditahun 1998. Kesulitan yang paling krusial adalah, darimana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa ini. Meminjam istilah Julia Kristeva (Pemikir Post modernis), inilah sebuah kondisi objektif, yaitu suatu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dan tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan dimana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk mempermainkan hukum. Ada yang menangis, tertawa, berjualan, telanjang, tidak punya malu dan ada apa saja didalamnya.
 Bahwa Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga pengadilan tertinggi haruslah berada dalam keadaan yang bukan saja bersih, jujur, benar dan adil, tetapi juga harus memiliki kemandirian dari campur tangan pihak manapun. Itu berarti sebagai implikasi dan konsekuensi lebih lanjut bahwa para hakim yang berada dibawah lembaga tersebut haruslah manusia-manusia yang bukan saja memiliki intelektualitas yang dapat diandalkan, melainkan juga etik, moral dan integritas mereka harus terpuji.
Guna membenahi kembali kinerja MA dalam mengangkat citra supremasi hukum, maka perlu dikaji kembali suatu aspek yang sangat esensial yaitu pembenahan perilaku hakim yang berintikan etika religi, yakni moralitas. Dalam bingkai pemikiran yang demikian, diperlukan penanganan yang serius dengan cara melakukan pengawasan dunia peradilan yang bersinergi dengan pengawasan hakim dan jaksa, sehingga mampu mencegah praktik korupsi di lingkup peradilan.
Selain daripada itu, diwujudkannya masyarakat madani di era ini adalah terciptanya suatu masyarakat yang tak berkelas (a classless society) yaitu hukum yang tidak membedakan to have dan the have not. Semua sama di depan hukum, dalam kondisi masyarakat yang demikian segala bentuk monopoli dan mafia hukum di peradilan tidak bisa tumbuh dan berkembang.

Tidak ada komentar: