Setelah reformasi, maraknya praktek-praktek korupsi justru semakin luas.
Budaya Korupsi yang merupakan warisan orde baru, di era reformasi ternyata
semakin di praktekkan, bahkan sampai merata di semua kalangan masyarakat, misal
para elit politik, pimpinan/anggota partai politik, anggota DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat), jaksa, polisi, menteri hingga pejabat eselon atas. Padahal,
diantara mereka dulunya selalu dengan lantang bersuara untuk menumpas korupsi
yang dianggap produk rezim orde baru.
Korupsi di Indonesia saat ini sudah merasuki seluruh bidang. Kondisi ini,
menggambarkan bahwa Indonesia tidak siap hidup dalam era reformasi dan
demokratisasi karena kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia dalam segi
moral dan kesadaran hukum. Hal ini berakibat pada pelanggaran hukum dan
pelecehan keadilan.
Buktinya, empat golongan koruptor kelas kakap belum dapat disikat habis.
Empat golongan yang belum tersentuh itu adalah, istana sebagai refresentatif
dari orang-orang di dalam pemerintahan, selain itu, ada Cendana yang mewakili
pemerintahan masa lalu. Golongan koruptor yang tidak tersentuh lainnya yakni
dari militer dan polisi. Sedangkan, golongan yang terakhir adalah
pengusaha/konglomerat hitam.
Masih berkaitan dengan persoalan diatas, bahwa selama era reformasi,
tercatat sebanyak 173 kepala daerah di Indonesia masuk penjara karena terbelit
dan terlibat korupsi. Ini merupakan data sejak 2004 hingga 2012. Dari jumlah
itu sekitar 70 persen diantaranya telah diputus pengadilan dan sudah
diberhentikan. (Serambi, 16 April 2012)
Teringat pada statemen yang pernah disampaikan oleh anggota DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah) dari Nusa Tenggara Timur. Beliau mengatakan: problema
paling mendasar adalah bahwa kebanyakan mereka (penguasa/kepala daerah) memiliki
masalah keuangan. Ketika mereka dilantik, mereka harus membayar kembali
utang-utang yang dibuat saat berkampanye, serta biasa yang harus dikeluarkan
untuk partai. Karena itu sepanjang masa kerja, mereka harus mengembalikan
investasi yang sudah dikeluarkan sebelumnya sebagai politik balas budi. Dengan
sifat seperti itu, sistem politik demokrasi menjadi sistem yang buruk dan
berbahaya bagi kepentingan rakyat. Biaya politik yang tinggi itu pula diduga
menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi.
Selain itu, jika sebelumnya kejahatan tindak pidana korupsi dilakukan
dengan cara menggelembungkan uang negara dan anggaran pemerintah. Saat ini
lebih sering dilakukan dengan cara menyandera negara lewat berbagai macam
aturan dan kebijakan, seperti undang-undang.
Sehingga, pemeilik kekuasaan dan kewenanganlah yang ikut bermain.
Jika kasus-kasus tersebut terus dibiarkan oleh pemerintah, hal itu akan
dapat menjauhkan Indonesia dari semangat dan cita-cita perjuangan bangsa
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Persoalan
ditegakkannya hukum yang berkeadilan, kuncinya ada pada seberapa besar
keinginanan politik dari pemerintah itu sendiri dalam menjalankannya.
Hukum dan kekuasaan (politik) tidak dapat dipisahkan antara satu sama
lain, karena keduanya seperti dua sisi mata uang. Makanya, supaya kekuasaan
politik berwajah keadilan hukum dan menjadi a place of discussion, sebaiknya
hukum dan politik tidak dipertentangkan kata Adnan Buyung Nasution. (Harian
Analisa,hal.30, 7 April 2008)
Perlu dicatat , menurut saya perlindungan hukum dan kepastian hukum
adalah pondasi pokok dalam bernegara, jika menggunakan hukum untuk kepentingan
politik, maka negara akan hancur.
Pencegahan Tindak Pidana korupsi
Indonesia adalah negara hukum. Oleh sebab
itu, untuk mengikis korupsi pemerintah pada tanggal 12 Mei 2011 mengeluarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor IX/2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi. Inpres ini lebih menitik beratkan upaya pencegahan dan
didalamnya ada 102 rencana aksi yang dilaksanakan oleh instansi-instansi hukum.
Pelaksanaan rencana aksi ini akan terus diawasi pemerintah.
Selanjutnya, pemerintah juga mewajibkan bagi setiap pejabat negara
melaporkan harta kekayaan yang mereka miliki kepada KPK.
Hukuman Bagi Koruptor
Selama ini berbagai upaya telah
dilakukan dalam memberantas korupsi, diantaranya dengan menjatuhkan vonis
hukuman mati kepada koruptor. Undang-undang yang mengatur hukuman mati bagi
para terdakwa korupsi sudah ada. Artinya, secara konstitusi sudah diperbolehkan
dan dijamin tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), namun yang belum ada
adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati tersebut.
Negara diberi kewenangan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Tapi,
harus menjunjung tinggi dan mengedepankan azas presumption of innocent (praduga
tidak bersalah). Oleh karena itu, pemberian vonis hukuman mati kepada koruptor
sah-sah saja dan tidak melanggar HAM. Alasannya, tidak ada HAM yang tidak
dibatasi oleh undang-undang.
Dalam undang-undang soal HAM pun sebenarnya sudah disebutkan jika hukuman
mati diperbolehkan untuk empat hal yaitu, terorisme, narkoba, pembunuhan
berencana dan korupsi. Namun, penerapan hukuman mati itu juga harus dilihat
kasusnya dan dimungkinkan bila membahayakan dan mengguncang perekonomian negara.
Penerapan hukuman mati ini, menjadi pro–kontra di tengah masyarakat
hingga pejabat negara. Sebut saja salah satu pejabat itu adalah mantan Ketua
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); Antasari Azhar, menurut beliau penerapan
hukuman mati untuk koruptor sulit dilakukan, karena hukuman mati itu baru dapat
dijatuhkan bila korupsi yang dilakukan terbukti mengguncang perekonomian
negara. Indikasi mengguncang perekonomian negara itu tidak mudah. Sebab,
mungkin perlu pelibatan ahli ekonomi.
Buktinya, di indonesia, koruptor yang dihukum mati memang tidak ada, yang
ada dijatuhi hukuman maksimal 20 tahun, tapi itu pun hanya satu orang yakni
Jaksa Urip TG, sedangkan lainnya hanya satu atau empat tahun.
Terlepas dari sikap pesimistis dari mantan Ketua KPK tersebut, Hukuman
mati lebih tepat diterapkan kepada terdakwa pelaku korupsi, sebab perbuatan
koruptor itu jelas-jelas menghancurkan perekononian negara dan uang rakyat.
Perbuatan tersebut sangat membahayakan dan berdampak terhadap negara. Dengan
penerapan hukuman mati itu, diharapkan dapat membuat efek jera bagi pelaku
lainnya, sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Walaupun ada alasan dari pihak lain yang mengatakan bahwa hukuman mati
belum tentu membuat jera koruptor, hal itu memang sulit dibuktikan, tapi
faktanya di China justru mampu mengurangi tindak pidana korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar