Rabu, 01 Agustus 2012

HUKUMAN MATI BAGI KORUPTOR


Setelah reformasi, maraknya praktek-praktek korupsi justru semakin luas. Budaya Korupsi yang merupakan warisan orde baru, di era reformasi ternyata semakin di praktekkan, bahkan sampai merata di semua kalangan masyarakat, misal para elit politik, pimpinan/anggota partai politik, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), jaksa, polisi, menteri hingga pejabat eselon atas. Padahal, diantara mereka dulunya selalu dengan lantang bersuara untuk menumpas korupsi yang dianggap produk rezim orde baru.
Korupsi di Indonesia saat ini sudah merasuki seluruh bidang. Kondisi ini, menggambarkan bahwa Indonesia tidak siap hidup dalam era reformasi dan demokratisasi karena kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia dalam segi moral dan kesadaran hukum. Hal ini berakibat pada pelanggaran hukum dan pelecehan keadilan.
Buktinya, empat golongan koruptor kelas kakap belum dapat disikat habis. Empat golongan yang belum tersentuh itu adalah, istana sebagai refresentatif dari orang-orang di dalam pemerintahan, selain itu, ada Cendana yang mewakili pemerintahan masa lalu. Golongan koruptor yang tidak tersentuh lainnya yakni dari militer dan polisi. Sedangkan, golongan yang terakhir adalah pengusaha/konglomerat hitam.
Masih berkaitan dengan persoalan diatas, bahwa selama era reformasi, tercatat sebanyak 173 kepala daerah di Indonesia masuk penjara karena terbelit dan terlibat korupsi. Ini merupakan data sejak 2004 hingga 2012. Dari jumlah itu sekitar 70 persen diantaranya telah diputus pengadilan dan sudah diberhentikan. (Serambi, 16 April 2012)
Teringat pada statemen yang pernah disampaikan oleh anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dari Nusa Tenggara Timur. Beliau mengatakan: problema paling mendasar adalah bahwa kebanyakan mereka (penguasa/kepala daerah) memiliki masalah keuangan. Ketika mereka dilantik, mereka harus membayar kembali utang-utang yang dibuat saat berkampanye, serta biasa yang harus dikeluarkan untuk partai. Karena itu sepanjang masa kerja, mereka harus mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan sebelumnya sebagai politik balas budi. Dengan sifat seperti itu, sistem politik demokrasi menjadi sistem yang buruk dan berbahaya bagi kepentingan rakyat. Biaya politik yang tinggi itu pula diduga menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi.
Selain itu, jika sebelumnya kejahatan tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara menggelembungkan uang negara dan anggaran pemerintah. Saat ini lebih sering dilakukan dengan cara menyandera negara lewat berbagai macam aturan  dan kebijakan, seperti undang-undang. Sehingga, pemeilik kekuasaan dan kewenanganlah yang ikut bermain.
Jika kasus-kasus tersebut terus dibiarkan oleh pemerintah, hal itu akan dapat menjauhkan Indonesia dari semangat dan cita-cita perjuangan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Persoalan ditegakkannya hukum yang berkeadilan, kuncinya ada pada seberapa besar keinginanan politik dari pemerintah itu sendiri dalam menjalankannya.
Hukum dan kekuasaan (politik) tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena keduanya seperti dua sisi mata uang. Makanya, supaya kekuasaan politik berwajah keadilan hukum dan menjadi a place of discussion, sebaiknya hukum dan politik tidak dipertentangkan kata Adnan Buyung Nasution. (Harian Analisa,hal.30, 7 April 2008)
Perlu dicatat , menurut saya perlindungan hukum dan kepastian hukum adalah pondasi pokok dalam bernegara, jika menggunakan hukum untuk kepentingan politik, maka negara akan hancur.
Pencegahan Tindak Pidana korupsi
 Indonesia adalah negara hukum. Oleh sebab itu, untuk mengikis korupsi pemerintah pada tanggal 12 Mei 2011 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor IX/2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini lebih menitik beratkan upaya pencegahan dan didalamnya ada 102 rencana aksi yang dilaksanakan oleh instansi-instansi hukum. Pelaksanaan rencana aksi ini akan terus diawasi pemerintah.
Selanjutnya, pemerintah juga mewajibkan bagi setiap pejabat negara melaporkan harta kekayaan yang mereka miliki kepada KPK.
Hukuman Bagi Koruptor
                Selama ini berbagai upaya telah dilakukan dalam memberantas korupsi, diantaranya dengan menjatuhkan vonis hukuman mati kepada koruptor. Undang-undang yang mengatur hukuman mati bagi para terdakwa korupsi sudah ada.  Artinya, secara konstitusi sudah diperbolehkan dan dijamin tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), namun yang belum ada adalah keberanian majelis hakim untuk menerapkan hukuman mati tersebut.
Negara diberi kewenangan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Tapi, harus menjunjung tinggi dan mengedepankan azas presumption of innocent (praduga tidak bersalah). Oleh karena itu, pemberian vonis hukuman mati kepada koruptor sah-sah saja dan tidak melanggar HAM. Alasannya, tidak ada HAM yang tidak dibatasi oleh undang-undang.
Dalam undang-undang soal HAM pun sebenarnya sudah disebutkan jika hukuman mati diperbolehkan untuk empat hal yaitu, terorisme, narkoba, pembunuhan berencana dan korupsi. Namun, penerapan hukuman mati itu juga harus dilihat kasusnya dan dimungkinkan bila membahayakan dan mengguncang perekonomian negara.
Penerapan hukuman mati ini, menjadi pro–kontra di tengah masyarakat hingga pejabat negara. Sebut saja salah satu pejabat itu adalah mantan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); Antasari Azhar, menurut beliau penerapan hukuman mati untuk koruptor sulit dilakukan, karena hukuman mati itu baru dapat dijatuhkan bila korupsi yang dilakukan terbukti mengguncang perekonomian negara. Indikasi mengguncang perekonomian negara itu tidak mudah. Sebab, mungkin perlu pelibatan ahli ekonomi. 
Buktinya, di indonesia, koruptor yang dihukum mati memang tidak ada, yang ada dijatuhi hukuman maksimal 20 tahun, tapi itu pun hanya satu orang yakni Jaksa Urip TG, sedangkan lainnya hanya satu atau empat tahun.
Terlepas dari sikap pesimistis dari mantan Ketua KPK tersebut, Hukuman mati lebih tepat diterapkan kepada terdakwa pelaku korupsi, sebab perbuatan koruptor itu jelas-jelas menghancurkan perekononian negara dan uang rakyat. Perbuatan tersebut sangat membahayakan dan berdampak terhadap negara. Dengan penerapan hukuman mati itu, diharapkan dapat membuat efek jera bagi pelaku lainnya, sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Walaupun ada alasan dari pihak lain yang mengatakan bahwa hukuman mati belum tentu membuat jera koruptor, hal itu memang sulit dibuktikan, tapi faktanya di China justru mampu mengurangi tindak pidana korupsi.


Tidak ada komentar: