Setelah
reformasi, maraknya praktek-praktek korupsi justru semakin luas. Budaya Korupsi
yang merupakan warisan orde baru, di era reformasi ternyata semakin di
praktekkan, bahkan sampai merata di semua kalangan masyarakat, misal para elit
politik, pimpinan/anggota partai politik, anggota DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat), jaksa, polisi, menteri hingga pejabat eselon atas. Padahal, diantara
mereka dulunya selalu dengan lantang bersuara untuk menumpas korupsi yang
dianggap produk rezim orde baru.
Korupsi
di Indonesia saat ini sudah merasuki seluruh bidang. Kondisi ini, menggambarkan
bahwa Indonesia tidak siap hidup dalam era reformasi dan demokratisasi karena
kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) Indonesia dalam segi moral dan kesadaran hukum.
Korupsi memang meresahkan, tetapi sebagian masyarakat menerimanya. Ini yang
aneh di Indonesia. Korupsi terjadi karena ada yang memberi dan ada yang
menerima.
Sandi-sandi
korupsi terungkap ke permukaan, seperti sandi korupsi yang berkembang pada
kasus Wisma Atlet antara lain “Apel Malang”, “Apel Washington” atau Semangka.
Kata-kata tersebut makin akrab karena menjadi kode atau sandi terkait perilaku
korupsi. Hal tersebut mengarah kepada uang, sandi itu digunakan agar tidak
vulgar.
Menurut
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin, saat ini ada tren perubahan kejahatan tindak pidana
korupsi. Jika pada sebelumnya perbuatan korupsi dilakukan dengan cara
menggelembungkan uang negara dan anggaran pemerintah, saat ini lebih sering
dilakukan dengan menyandera negara lewat
berbagai macam aturan seperti undang-undang dan lain sebagainya. Contoh
konkretnya adalah dalam pembuatan undang-undang dan mekanisme pembuatan
regulasi dan kebijakan negara lainnya. Ada banyak undang-undang yang privatisasi,
dibayar lewat ruang kedap hitam. Terakhir, langkah tersebut hanya dapat
dilakukan dan diupayakan melalui proses politik. Dalam kejahatan negara itu
politik menjadi penting untuk memayungi.[1]
Biaya politik yang tinggi itu juga diduga menjadi salah satu penyebab maraknya
korupsi.
Sejak kasus Bank Century, Cicak Buaya
I hingga Cicak Buaya II dan kasus-kasus lainnya, saling bunuh karakter di
panggung politik Indonesia menjadi tontonan publik yang sambung menyambung.
Sementara
itu, menurut politisi Partai PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, karut marutnya
perpolitikan di Indonesia karena banyak politisi yang memakai politik porno.
Yakni politik yang menghalalkan segala
cara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Banyak politisi yang
menarik kepentingan umum (rakyat) ke ranah pribadi.[2]
Kasus-kasus korupsi yang menimpa
politisi kita makin hari makin unik saja,
yang
sering dijadikan apologi oleh para petinggi partai politik tersebut adalah
perilaku korup tersebut dilakukan oleh oknum, bukan institusi. Tetapi,
pertanyaannya jika yang melakukan perilaku korup tersebut adalah semua orang
yang ada dalam institusi, sulit kita membedakan apakah ini oknum ataukah memang
institusinya yang bobrok.
Kehadiran KPK kini sebetulnya
menumbuhkan harapan baru bagi pemberantasan korupsi. Tapi masalahnya, lembaga
ini dikepung oleh berbagai kepentingan politik termasuk parlemen.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera PKS Fahri Hamzah misalnya, berkali-kali mempersoalkan kewenangan KPK yang dianggap terlalu besar. Beberapa anggota parlemen mulai menyuarakan keinginan untuk memangkas kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Mereka mengusulkan agar lembaga ini hanya mengambil peran pencegahan.
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera PKS Fahri Hamzah misalnya, berkali-kali mempersoalkan kewenangan KPK yang dianggap terlalu besar. Beberapa anggota parlemen mulai menyuarakan keinginan untuk memangkas kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Mereka mengusulkan agar lembaga ini hanya mengambil peran pencegahan.
Keinginan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) karena DPR tidak suka KPK yang telah masuk merecoki jantung utama
sumber pendanaan partai buat pemilu 2014. Buktinya, sejumlah anggota Badan
Anggaran (Banggar) DPR sudah diproses KPK, misalnya Wa Ode Nurhayati, ada juga
Hartati, dan kawan-kawan.
Fungsi
penentuan anggaran negara yang biasanya diberikan kepada Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) justru diambil alih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Tumpang tindih fungsi itu menyebabkan potensi korupsi oleh
anggota DPR semakin besar. Karena tidak banyak anggota Dewan yang bersikap
netral. Para anggota DPR saat ini lebih mengutamakan kepentingan partai,
pribadi, dan konstituen yang dulu memilih mereka untuk duduk di kursi
legislatif.
Menurut
pengamat ekonomi, Hendri Saparini,
sebelum reformasi peran dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
sangat besar. Perkiraan biaya untuk kebutuhan negara ada di Bappenas, sekarang
perannya minimal. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kadang tidak dipakai.
Sekarang yang menentukan lebih banyak di DPR. Sehingga, semua dibuat harus
berdasarkan persetujuan DPR karena fungsi anggaran. Dengan demikian, bukan lagi
pada arahan untuk kepentingan nasional, melainkan ini untuk konstituen saya
atau bukan, untuk daerah saya atau bukan. Seolah-olah Cuma jatah-menjatah.
Dibagi pertama bagi partainya, kemudian bagi partainya. [3]
Selain
itu, tingginya desakan globalisasi dan munculnya perusahaan-perusahaan swasta,
baik nasional maupun asing, mengakibatkan DPR membuat undang-undang tentang
kebijakan ekonomi yang justru tidak berpihak kepada rakyat. Bukan hanya anggota
dewan, melainkan birokrasi dalam pemerintahan juga disuap hanya untuk
menguntungkan para pengusaha. Alhasil, susah untuk menghentikan praktek-praktek
korupsi seperti demikian.
Apa
hal yang mengakibatkan fenomena yang memiriskan itu terjadi terus menerus? Saya
teringat pada tulisan Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saifuddin Bantasyam, beliau mengutip
statemen yang pernah disampaikan oleh anggota DPRD dari Nusa Tenggara Timur.
Menurutnya, problema paling mendasar adalah bahwa kebanyakan anggota legislatif
memiliki masalah keuangan. Ketika mereka dilantik, mereka harus membayar
kembali utang-utang yang dibuat saat berkampanye, serta biaya yang harus
dikeluarkan untuk partai. Karena itu sepanjang masa kerja sebagai anggota
dewan, mereka harus mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan sebelumnya. [4]
Menurut Adhie Masardi dari aktivis gerakan Indonesia bersih bahwa korupsi
sudah merajalela ke banyak lingkaran. Lingkaran kecil tentu istana, Lingkaran
sedang yaitu para anggota kabinet dan lingkaran besar partai-partai sudah
banyak yang diracuni dengan limbah korupsi tersebut. Kita aneh dengan
implementasi penegakan hukum di negeri ini, Komisi Pemerantasan Korupsi adalah
lembaga independen jadi apabila KPK berhasil mengungkap kasus korupsi itu
menjadi prestasi bangsa ini bukan prestasi SBY. Namun SBY yang dibawahnya sudah
ada kepolisian dan kejaksaan seharusnya lebih tangguh untuk menangkap para
koruptor karena pesiden bisa bersikap tegas untuk menjalankan unsur penegakan
hukum itu sendiri. SBY malah membiarkan kedua lembaga itu terus berlumur dosa.
Inilah negeri para bedebah, Partai besar pemenang pemilu yang berlambang merci
tersebut malah seperti banci yang ragu antara dirinya laki-laki atau perempuan.
Keraguan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan setiap permasalahan bisa di
Indikasi bahwa sang pemipin akan bermasalah dengan pemangku kepentingan yang ia
punya hutang budi saat pemilu.[5]
Sebelumnya
diberitakan, Partai Golkar paling getol mengusulkan revisi UU KPK, dimana ada
tiga item penting yang akan direvisi, diantarnya pertama, mekanisme kewenangan menyadap oleh KPK harus mendapat
persetujuan pengadilan negeri; kedua,
tahap penuntutan harus dikoordinasikan dengan kejaksaan; ketiga, pembentukan Dewan Pengawas KPK.
.
Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Apung Widadi, Partai Golkar
merupakan sebagai inisiator revisi UU KPK. Ia menganggap hal itu dikarenakan
banyaknya kepala daerah yang berasal dari Golkar diperiksa penegak hukum
terkait kasus dugaan korupsi.[6]
Melihat
fenomena praktek korupsi di negeri ini, ada beberapa hal yang menjadi
penyebabnya. Antara lain, lemahnya kepemimpinan. Ketika kepemimpinan tidak
tegas terhadap bawahan, maka ada kemungkinan bawahan untuk melakukan
penyelewengan. Negeri ini akan sangat berbahaya, jika pimpinannya menjadi
bagian dari korupsi itu sendiri. Kemudian, sistem pengelolaan keuangan yang
sangat tertutup. Pengelolaan keuangan yang tidak transparan inilah yang
kemudian dapat menjadi pemicu terjadinya korupsi.
ICW
merilis data kasus yang ditangani KPK, kejaksaan dan kepolisian mulai tahun
2004-2010, dari data tersebut terlihat pemeriksaan gubernur sebanyak 18 orang,
walikota 17 orang, bupati 84 orang, wakil gubernur 1 orang, wakil bupati 19
orang, wakil walikota 8 orang, total keseluruhan 147 orang telah diperiksa.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kepala daerah yang berasal dari Golkar paling
banyak diperiksa, baru kemudian disusul PDIP. Berikut ini tabel kasus politisi
yang ditangani KPK:
No.
|
Nama Partai
|
Jumlah (orang)
|
1
|
Golkar
|
52
|
2
|
PDIP
|
33
|
3
|
PPP
|
5
|
4
|
Demokrat
|
11
|
5
|
PAN
|
5
|
6
|
PKS
|
1
|
7
|
PKB
|
6
|
8
|
Koalisi
|
31
|
9
|
Independen
|
1
|
10
|
Belum teridentifikasi
|
2
|
|
Total
|
147
|
Sumber: Harian Serambi, 1
Oktober 2012.
Partai
Golkar membantah tudingan ICW terkait dukungan terhadap revisi UU KPK. Politisi
Golkar, Nudirman Munir mengatakan dukungan terhadap revisi UU KPK untuk
memperkuat lembaga tersebut, bukan melemahkan. Anggota Komisi III DPR-RI ini
juga membantah ngototnya Golkar merevisi UU KPK karena mereka menduduki
peringkat pertama terkait banyaknya kepala daerah dari Golkar yang diperiksa
KPK.[7]
Terdapat
sejumlah kepala daerah yang memakai kendaraan Golkar saat bertarung di Pilkada.
Padahal, mereka bukanlah Kader Golkar.
Terlepas
dari semua bantahan tersebut, sejatinya revisi UU KPK merupakan tindakan
mengebiri lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Adanya upaya pihak tertentu
yang berupaya mengkerdilkan KPK dengan tiga cara yakni melalui fungsi
budgeting, dari aspek legislasi dan lewat monitoring. Dari sisi budgeting,
misalnya pembangunan gedung KPK ditolak. Dari aspek legislasi, misalnya dengan
merevisi Undang-Undang KPK, dan aspek monitoring dimana di beberapa tempat atau
rapat dengan DPR sering ada keluh kesah, dimana KPK diminta tidak menangani
kasus tertentu.
Kita sangat prihatin dengan situasi yang
menimpa KPK dan Ini ancaman besar terhadap upaya pemberantasan korupsi. Lumrah
saja jika banyak pihak mendukung eksistensi KPK sepenuhnya dan mengecam
tindakan para politisi di senayan baik yang dengan sengaja melakukan upaya
pengkerdilan terhadap KPK. Orang-orang seperti itu harus ditolak keberadaannya
dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Oleh karena itu, negeri ini perlu
diselamatkan dari tangan-tangan kotor dan orang-orang yang memiliki mental
korup.
Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD
mengatakan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dilakukan
secara nyata, sistematis dan berkelanjutan yang dapat dilihat dari berbagai
langkah mengkerdilkan lembaga pemberantasan korupsi tersebut, diantaranya uji
materi UU KPK di MK yang telah dilakukan belasan kali dan selalu ditolak oleh
MK, mempersoalkan legitimasi pimpinan KPK
dan yang terbaru rencana revisi terhadap UU KPK.[8]
Ketua Komisi III DPR, Beni K Harman
mengatakan tugas KPK ke depan hanya fokus pada bidang pencegahan, jadi DPR
ingin KPK ke depannya lebih fokus pencegahan korupsi. Sementara itu, Kepolisian
dan kejaksaan akan diperkuat dalam hal penindakan kasus korupsi. Untuk rencana
ini, Undang-Undang Kejaksaan dan Kepolisianakan direvisi bersamaan dengan revisi UU KPK.
Selanjutnya, Benny K Harman menjelaskan
tugas pencegahan dan penindakan yang diberikan kepada KPK selama ini hanya
menyandera KPK. Sebabnya, semakin banyak yang ditindak, maka
semakin banyak yang berkembang pula. Jadi, KPK sukses dalam
penindakan, tetapi gagal pencegahan.
Menyikapi
hal itu, Juru Bicara KPK, Johan Budi meminta sejumlah politisi tersebut untuk
belajar lagi terkait sejarah berdirinya KPK. Orang
yang menyebut KPK tidak boleh menindak, pada dasarnya tidak mengetahui sejarah
berdirinya KPK, dan orang itu seharusnya belajar lagi soal sejarah berdirinya
KPK.[9]
Bagaimanapun juga harus diakui korupsi
masih banyak di Indonesia. Tidaklah mungkin kinerja KPK dapat seimbang, jika
tak fokus dengan pencegahan semata dan sangat naif kalau KPK tidak
melakukan penindakan.
Upaya
pelemahan KPK yang dilakukan sejumlah pihak bukanlah barang baru. Kondisi
tersebut menjadi genting setelah kewenangan KPK mulai dipangkas melalui revisi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sikap
getol KPK menyidik korupsi di parlemen dan elit partai politik, diduga membuat
para politisi gerah dan ingin membonsai peran lembaga pemberantas korupsi ini.
Sinyalemen lain adalah menjelang pemilihan umum 2014, praktek korupsi akan
meningkat. Partai butuh dana, dan mereka memanfaatkan kader-kader mereka di
pemerintahan dan parlemen untuk menggalang dana untuk biaya kampanye.
Kendati
demikian, jika revisi tetap dilakukan, maka sebaiknya revisi UU KPK betul-betul
menguatkan kewenangan KPK dan tujuan utamanya memberantas korupsi di Indonesia.
Karena itu, revisi UU tersebut harus menyertakan secara gamblang kemungkinan
KPK menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam menelusuri kasus
korupsi dan memasukkan klausul sanksi bagi pejabat yang tidak melaporkan harta
kekayaan. Sehingga, dengan demikian KPK lebih dipermudah masuk ke TPPU, hal ini
cukup beralasan. Sebagaimana kita lihat dan ketahui sekarang ini mengenai
Laporan Kekayaan Pejabat Negara (LKPN), bagi orang yang tidak melapor harta
kekayaann tidak ada sanksi baginya.
Indonesia
sekarang berada di persimpangan jalan yang harus memilih apakah mau mengukir
sejarah menjadi bagian dari negara yang mentolerir korupsi atau negara yang
total melawan korupsi. Masing-masing orang memiliki tanggungjawab moril untuk
mendukung KPK.
[1]
Harian Serambi, 16 Oktober 2010, hal.2.
[2]
Harian Serambi, 18 Oktober 2012, hal. 5.
[3]
Harian Serambi, 5 Juni 2011, hal.5.
[4]
Bantasyam Saifuddin dalam “Korupsi oleh Legislatif”, pada Harian Serambi, 11
Mei 2011, hal. 22.
[5] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=Puasalah+Para+Koruptor!!!&dn=20120728150249
[6]
Harian Serambi, 1 Oktober 2012, hal. 5
[7]
idem
[8]
Harian Serambi, 4 Oktober 2012, hal. 5
[9]
http://m.tribunnews.com/2012/03/09/johan-anggota-dpr-belajar-lagi-sejarah-berdirinya-kpk,
Jumat, 9 Maret 2012
1 komentar:
Casinos, sportsbooks and poker at MGM National Harbor
MGM National 김천 출장샵 Harbor, 정읍 출장마사지 Nevada. 4-Star Hotel and 당진 출장마사지 Casino in 전라남도 출장샵 Atlantic City. Featuring a casino, a nightclub, restaurants and 나주 출장안마 bars, this AAA Four-Diamond property
Posting Komentar