a.
Konflik Kepentingan
Sejak memasuki
zaman era reformasi lebih dari satu generasi, banyak orang tidak terkecuali
pejabat birokrat, tokoh politik, ilmuwan, namun dimanakah suara mereka
sekarang? Yang selalu mencibirkan bibir dan melecehkan zaman orde baru yang
dikatakan menyeleweng dari konstitusi, tidak menghormati hukum, dan masih
banyak pelecehan lain. Ternyata, setelah memasuki era reformasi, hukum tidak
begitu digubris.
Contohnya, kasus
dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM pertama kali mencuat saat Bambang
Sukotjo, direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia, membeberkan adanya dugaan
suap proyek pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes
Polri. Bambang terang-terangan menyebut ada suap dari perusahaan pemenang
tender pengadaan simulator 2011, kepada pejabat
Korlantas Polri bernisial DS sebesar Rp.2 (dua) miliar.
Tak hanya
dugaan suap, Bambang pun membeberkan adanya praktek mark up dalam proyek
pengadaan simulator motor dan mobil di institusi Polri tersebut. Pada saat
lelang proyek tesebut, perusahaan bernama PT Citra Mandiri Metalindo berhasil
memenangi tender pengadaan 700 simulator sepeda motor senilai Rp 54,453 miliar
dan 556 simulator mobil senilai Rp 142,415 miliar pada 2011.
Ketegangan
antara KPK dan Polri dimulai saat KPK melakukan penggeledahan di gedung Korps
Lalu Lintas (Korlantas) Polri terkait kasus Simulator SIM. Sebenarnya baik KPK
maupun Polri sudah sama-sama tahu bahwa masing-masing lembaga penegak hukum
tersebut sedang menangani kasus di yang sama di Korlantas Polri.
Keadaan inilah yang disebut Bellum omnium contra omnes, dimana setiap orang
selalu memperlihatkan keinginan-keinginannya yang betul-betul bersifat
egoistis. Jadi, dalam keadaan itu tidak ada pengertian adil dan tidak adil sama
sekali, sedangkan yang berlaku hanyalah nafsu-nafsu manusia saja. Sebab untuk
adanya keadilan harus ada peraturan yang mengatur serta mengukur perbuatan
manusia.
KPK dan Polri,
Senin (30/7/2012) melakukan pertemuan di ruang Kapolri sekitar pukul 14.00 WIB.
Saat itu, kedatangan pimpinan KPK Abraham Samad diterima langsung Kapolri
Jenderal Polisi Timur Pradopo yang didampingi Kabareskrim Polri. Polri
mengklaim dalam pertemuan tersebut dilakukan pembicaraan mengenai penanganan
kasus korupsi di Korlantas. Namun, dalam pertemuan tersebut Polri membantah
adanya permohonan izin dari KPK untuk menggeledah Korlantas.
Pada hari yang
sama, justru KPK melakukan penggeledahan di Korlantas sampai akhirnya terjadi
kesalahpahaman antara Polri dan KPK. Kabareskrim Polri saat itu langsung turun
untuk membicarakan penggeledahan tersebut dengan tiga pimpinan KPK Abraham
Samad, Bambang
Widjajanto, dan Busyro Muqoddas pada Selasa (31/7/2012) dini hari.
Polri semakin geram setelah KPK mengumumkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka
kasus Simulator SIM tersebut dalam jumpa persnya di Gedung KPK bersama
perwakilan Polri setelah melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri
tersebut.
Sebagaimana
dikutip TEMPO, seorang sumber mengatakan bahwa dihadapan ribuan calon perwira,
Kepala Kepolisian Timur Pradopo menyebut menggeledah tempat seenaknya dan
menangkap orang seenaknya itu namanya garong. Yang dimaksud Kapolri adalah
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan KPK atas kasus dugaan korupsi
pengadaan simulator SIM di bagian lalu lintas kepolisian. Dengan segala cara,
kepolisian memperlihatkan perlawanan atas upaya pembersihan di dalam tubuh
mereka.
Sebelumnya,
Polri pernah membantah
dugaan bahwa Inspektur Jenderal Djoko
Susilo
menerima suap Rp 2 miliar dari proyek pengadaan simulator
kemudi motor dan mobil senilai Rp 196,87 miliar ketika memimpin Korps Lalu
Lintas Polri. Kepala Bagian Penerangan Umum Komisaris Besar Boy Rafli Amar kala
itu, sekarang Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri
Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafly Amar, menyatakan,
proyek ini telah sesuai prosedur dan dari
sisi mekanisme pengadaan barang dan jasa sudah berjalan dengan aturan yang ada.
Kewajiban dari kontraktor pengadaan alat drive
simulator polres-polres se-Indonesia, ini sudah terpenuhi.
Penggeledahan
yang dilakukan para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung Korps Lalu
Lintas Polri, Selasa 31 Juli 2012, menegaskan masih adanya persoalan serius
terkait korupsi di tubuh kepolisian Indonesia. Sementara sikap Polri yang
disebut menghalang-halangi kerja penyidik KPK malah membuat kecurigaan publik
makin besar tentang adanya ketidakberesan di institusi tersebut. Seperti
diwartakan kompas.com, para penyidik KPK seusai melakukan penggeledahan
tertahan di Korlantas Polri selama lebih dari 10 jam. Pada penggeledahan kali
ini, penyidik KPK mengklaim telah menemukan semua dokumen asli, termasuk aliran
dana yang mengarah ke pejabat Korlantas. Jika Polri berkomitmen untuk transparansi publik,
maka sudah seharusnya Polri mendukung penuh KPK, karena bagaimanapun juga
tindakan korupsi itu melanggar hukum.
Pelanggaran
hukum membawa akibat diberikannya hukuman kepada si pelanggar. Adanya hukuman
yang diberikan tersebut akan menimbulkan masalah yang mengacu pada keadilan.
Menurut Immanuel Kant, hukuman merupakan sesuatu yang harus diterima oleh orang
yang bersalah dan hukuman itu adalah hadiah baginya. Pendapat Kant ini dapat
dikatakan bahwa ada dua macam hubungan antara hukuman dan pelanggaran. Yang
pertama, ada hubungan logis antara hukuman dan pelanggaran, yaitu siapa yang
melanggar akan mendapat hukuman. Kedua, hukuman menimbulkan rasa moral, karena
seseorang yang berbuat harus bertanggungjawab. Namun,
satu hal yang harus menjadi ciri utama dan yang pertama serta yang paling
esensial adalah faktor kejujuran, kebenaran serta kepekaan untuk segala
permasalahan yang ada, dimana bukan saja hukum yang harus diterapkan, melainkan
juga keadilan harus ditegakkan.
Berkaitan
dengan persoalan penggeledahan tersebut, Markas Besar Kepolisian Republik
Indonesia (Mabes Polri) membantah pihaknya menghalangi atau menahan penyidik KPK. Menurut Polri, mereka Bukan
menahan, yang betul adalah berkoordinasi dalam rangka penyelidikan. Penyidik
Polri juga sudah melakukannya (penyidikan atas kasus dugaan korupsi simulator
kemudi motor dan mobil) dengan memeriksa 32 saksi, kata Kepala Divisi Humas
Polri Brigadir Jenderal (Pol) Anang Iskandar. Pernyataan "juga melakukan penyelidikan" menurut
Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar, hanya alasan Polri agar kasus itu tidak
ditangani KPK. Kepolisian sudah sulit dipercaya untuk menangani kasus itu jika
melihat tidak tuntasnya penanganan dugaan korupsi yang melibatkan petinggi Polri
seperti kasus rekening gendut perwira tinggi Polri.
Namun, apa
yang terjadi belakangan ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan lagi
ungkapan eufemistis yang digunakan, melainkan sudah menjadi semacam
transformasi moral dan etik yang anomik (rancu), sehingga sarana bahasa yang
digunakan menjadi suatu ungkapan kemunafikan. Penggunaan kata-kata secara
munafik untuk menutup proses kebusukan dalam dunia hukum dalam rangka
menegakkan keadilan dan kebenaran benar-benar telah menjadi momok yang menakutkan.
Hal itu sungguh mencerminkan bahwa
keadilan (hukum) sudah tidak dihormati lagi. Dengan perkataan lain, etik,
moral, integritas dan keadilan bukan saja telah dipelintirkan, entah karena
uang, entah karena kuasa, entah karena rekayasa atau diintervensi secara
terselubung sehingga keadilan (hukum) telah dijungkirbalikkan.
Masih pada hari
Selasa, 31 Juli 2012, sekitar pukul 14.30 WIB pimpinan KPK Abraham Samad dan
Bambang Widjajanto datang ke Mabes Polri bertemu dengan Kapolri membicarakan
penanganan kasus tersebut dan penyitaan barang bukti di Korlantas. Pertemuan
tersebut disepakati bahwa barang bukti dibawa KPK untuk di verifikasi. Kemudian
dalam penanganan kasusnya KPK menangani Irjen Pol Djoko Susilo, sementara Polri
menangani Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ke bawah dalam tender
proyek alat simulator SIM tersebut.
Namun, pada
hari Rabu, 1 Agustus 2012, penyidik Bareskrim Polri menetapkan lima tersangka
dalam kasus tersebut diantaranya Brigjen Pol Didik Purnomo sebagai PPK dalam
pengadaan Simulator SIM, AKBP Teddy Rusmawan sebagai ketua panitia lelangnya,
Kompol Legimo sebagai bendaharanya, kemudian Budi Susanto sebagai direktur
perusahaan pemenang tender alat simulator SIM, dan Sukotjo Bambang
sebagai sub-kontraktor penyedia alat simulator SIM. Namun,
berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nama Irjen Djoko Susilo
tidak masuk dalam daftar tersangka simulator SIM versi Mabes Polri.
KPK juga telah menetapkan empat tersangka
yakni mantan Direktur Korlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo, Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) Brigjen Pol DP (Didik Purnomo), Direktur Utama PT Inovasi
Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang dan Direktur Utama PT Citra Mandiri
Metalindo Abadi Budi Susanto.
Setelah
itu, pada 3 Juli 2012 Kabareskrim Polri Komjen Pol Sutarman pun menggelar jumpa
pers menyikapi polemik penanganan kasus tersebut. Dalam jumpa persnya Polri
menegaskan bahwa pihaknya tetap akan melanjutkan proses penyidikan kasus
tersebut dan tidak akan memberikan kasus yang ditanganinya kepada KPK. Alasan
polri, ada sejumlah pemeriksaan tersangka yang sudah diajukan kepada Kejaksaan.
Untuk itu, koordinasi perlu dilakukan Polri dengan KPK. Itulah yang harus dikoordinasikan, karena
semua sudah ditangani. Hal ini juga sudah dievaluasi oleh kejaksaan. Pada dasarnya manusia sebagai subjek
hukum selalu menginginkan kebaikan dan berusah untuk mewujudkannya. Apabila
seseorang berbuat kurang baik, maka ia berusaha membuat alasan yang dapat
membenarkan tindakannya tersebut.
Selanjutnya, pada malam harinya sekitar pukul
19.00 WIB penyidik Bareskrim Polri pun menahan Brigjen Pol Didik Purnomo, AKBP
Teddy Rusmawan, Kompol Legimo, dan Budi Susanto. Melihat kondisi ini, bisa jadi
Polri mendapat dukungan politik dari beberapa politisi yang selama ini selalu
mengkritik keras KPK. Dukungan politik politisi ini bisa berpotensi memancing
konflik antara KPK dan Polri.
Kemudian,
bergulir kabar lain tentang KPK. Petinggi KPK dikabarkan disadap, namun KPK
tidak terpengaruh dengan kabar penyadapan terhadap petinggi lembaganya oleh
Mabes Polri. Bahkan juru bicara KPK, Johan Budi menyebutkan sumber kabar
tersebut tidak jelas. Sejauh ini, tidak ada pernyataan resmi dari Polri yang
menyatakan pimpinan KPK disadap. Meskipun soal penyadapan itu sudah dimuat di
salah satu media nasional, namun sumber dalam pemberitaan itu tidak jelas.
Mabes Polri
juga membantah penyadapan yang diduga dilakukan terhadap KPK, terutama pada
pimpinan KPK terkait dengan perebutan kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM
di Korlantas Polri. Pada prinsipnya Polri melakukan langkah-langkah yang
profesional, sehingga menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk
penyadapan yang tidak sesuai aturan.
Dugaan
penyadapan oleh Polri terhadap KPK ini berawal dari pengakuan seorang perwira
polisi pada media nasional yag terbit 13 Agustus 2012 lalu. Dalam tulisan yang
berjudul “ Mengapa Polisi Bertahan”, perwira itu memaparkan ada upaya operasi
gelap Mabes Polri untuk menghalangi KPK mengusut kasus simulator SIM, antara
lain melalui penyadapan. Selain menyadap, Mabes Polri juga diduga menguntit
kegiatan para pimpinan KPK. Semua usaha tersebut dilakukan untuk mengetahui
pimpinan KPK yang paling getol mengusut kasus tersebut. Bahkan diduga Polri
sengaja mengumpulkan informasi kesalahan yang pernah dilakukan pemimpin KPK di
masa lalu.
Hampir sepekan
masalah penyadapan dan prosedur yang ditempuh penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) terus bergulir. Kini, masalah itu semakin berkembang dan membuat
Polri dan KPK saling tuding dan membantah. Namun, disisi lain ada yang luput
dari permasalahan itu. Melalui Juru Bicara KPK, pihak lembaga anti korupsi
mengeluhkan kabar tersebut, bahkan secara tidak langsung, KPK menilai ada
skenario untuk melemahkan institusinya dalam memberantas kasus korupsi dan hal
itu bukan berasal dari institusi Polri.
Justru KPK
mempertanyakan sikap DPR dalam menyoroti hal ini. Sebab, sejak awal dan
tiba-tiba, parlemen-lah melalui hak serta inisiatifnya memanggil para mantan
penyidik serta jaksa KPK, untuk mengetahui masalah di lembaga anti korupsi
tersebut.
KPK
mengingatkan, sebelum muncul masalah ini, DPR gencar menggelontorkan soal
Revisi Undang-Undang KPK yang salah satu butir dalam draf revisi ada pemotongan
kewenangan KPK dalam melakukan Penyadapan.
Anggota Komisi
III DPR-RI, Adang Daradjatun menegaskan bahwa KPK dan Polri harus bersatu dalam
memberantas korupsi. Seharusnya antara KPK, Polri dan Kejaksaan itu menjadi
team work (tim kerja) yang sangar dalam memberantas korupsi. Tanggapan ini
muncul dikarenak adanya pemanggilan penyidik KPK oleh Komisi III DPR yang
dilakukan secara tertutup. Motif ini pun dipertanyakan sejumlah pihak. Bahkan,
pemanggilan ini dapat semakin memperlebar jarak antara KPK dengan Polri dan
justru langkah komisi hukum DPR itu sebagai bentuk kongkalikong dengan Polri
untuk melemahkan KPK.
Indonesian
Corruption Watch (ICW) mempertanyakan motif langkah mantan penyidik KPK dari
kepolisian, Kompol Hendy Kurniawan yang mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan
di KPK saat dia bertugas. Hal itu pada prinsipnya tidak etis, padahal mekanisme
kerja di KPK sifatnya rahasia, tapi keburukan KPK tiba-tiba dikemukakan ke
publik. Apalagi tanpa konfirmasi KPK, tentu ini dapat mengganggu kinerja KPK
yang sedang mengusut banyak kasus korupsi. Langkah tersebut dapat menimbulkan
spekulasi di masyarakat bahwa pernyataan Kompol Hendy Kurniawan ini sengaja dan
difasilitasi oleh kepolisian. Bahkan, ada dugaan pengakuan Kompol Hendy
Kurniawan ini ditujukan untuk mengganggu proses pengusutan dugaan korupsi alat
simulasi kemudi untuk ujian SIM yang sedang diusut KPK. Ada upaya-upaya untuk
mengganggu kasus yang sedang berjalan di KPK,khususnya kasus simulator.
Sebaiknya, jika benar terdapat kejanggalan dalam mekanisme KPK, langsung
diungkapkan kepada pimpinan lembaga anti korupsi itu.
Sementara itu,
Kapolri mengatakan pernyataan Hendy bersifat pribadi bukan mengatasnamakan
institusi. Dia juga membantah kepolisian telah memfasilitasi penyidik untuk
mengungkapkan sisi negatif dari KPK selama mereka bertugas disana. Itu bukan
atas nama istitusi, penyidik ini baru keluar dari KPK, jadi yang bersangkutan
masih ditempatkan di SDM.
Pada hari
selasa, 27 November 2012, Hendy Kurniawan mengungkapkan kejanggalan mekanisme
penyidikan yang dijalankan pimpinan KPK (Abraham Samad), kejanggalan itu berupa
prosedur dalam penetapan tersangka di sejumlah kasus. Misalnya dalam perkara
Miranda Swaray Goeltom, pimpinan KPK telah menabrak prosedur bahkan hukum yang
berlaku. Hendy mengetahui hal itu, lantaran dirinya merupakan penyidik dalam
perkara tersebut. Saat itu, pimpinan menabrak prosedur dengan memaksa kasus
Miranda S. Goeltom naik ke penuntutan. Padahal, bukti-bukti yang ditemukan
penyidik belum dapat menjeratnya. Tudingan tersebut terbantahkan, dikarenakan
perkara suap cek perjalanan yang menjerat mantan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia itu telah mendapat putusan dari pengadilan dengan bukti-bukti yang
diajukan oleh jaksa KPK.
Menanggapi hal
itu, Juru Bicara KPK (Johan Budi), mempertanyakan sikap Hendi berbeda dengan
isi surat pengunduran dirinya dengan apa yang disampaikannya ini. Ada tradisi menulis surat perpisahan ketika
seorang penyidik habis masanya.
KPK mengaku tidak
menyangka bekas penyidiknya dari kepolisian, akan membuka aib lembaga anti
korup korupsi. Namun, KPK tetap berpikiran positif saja, hal itu tentunya tidak
dapat dilihat dengan sebelah mata. Karena informasi yang diberikan Hendy ke
publik maupun ke DPR sangat berbeda dengan informasi yang diberikan mantan
Jaksa KPK yang sebelumnya juga diundang Komisi III DPR mengenai persoalan yang
sama.
Mengenai
penyadapan, KPK memperoleh informasi dari salah satu anggota Komisi III bahwa
keterangan eks penyidik KPK berbeda dengan keterangan eks jaksa. Padahal,
dengan jelas Hendy dalam surat yang dituangkannya saat mengundurkan diri, tidak
ada sama sekali menyinggung permasalahan-permasalah itu. Itu menjadi pertanyaan sendiri, kenapa tidak disampaikan saat di KPK.
Lalu, didalam surat pengunduran dirinya tersebut, juga tidak ada menyiratkan
adanya sepak terjang ketua KPK atau permasalahan KPK yang demikian. Justru dia
dengan tegas mengatakan selama bertugas di KPK, mendapat nilai tambah yang bisa
digunakan untuk menunjang karis di institusi asalnya.
Kendati
demikian, KPK tetap mendengarkan apa yang disampaikan eks penyidiknya tersebut.
KPK masih menaruh kepercayaan bahwa eks penyidiknya tersebut menyampaikan hal
itu guna membuat KPK lebih baik ke depannya, meski pernyataan yang seperti itu
disampaikan setelah dirinya tidak lagi menjabat sebagai penyidik di KPK. Sampai
kapanpun KPK akan tetap menganggap bekas penyidik setelah kembali ke institusi
awal, sebagai sahabat KPK tidak terkecuali dari Polri atau Kejaksaan Agung.
Sementara
itu, dalam konteks kelembagaan, hubungan KPK dengan Polri relatif antiklimaks.
Hal ini, perlu didukung agar KPK dan Polri tetap independen dan profesional. Di
sisi lain, Polri bisa jadi mendapat dukungan politik dari beberapa politisi
yang selama ini selalu mengkritik keras KPK.
Pada
kesempatan lain Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Agil Siradj meminta Kapolri dan
Wakapolri mampu menjaga citra dan moral kepolisian demi kepentingan penegakan
hukum dan generasi penerus. Polisi sebagai pelayan, pelindung dan pengayom
masyarakat adalah harapan sekaligus milik rakyat. Sehingga harus dijalankan
tugas dan amanah itu dengan benar. Jangan justru dalam situasi saat ini posisi
kepolisian tambah terpuruk hanya gara-gara ulah segeleintir oknum aparat yang
kerap bertindak semena-mena itu akhirnya institusi tersebut menjadi tercoreng.
Karenanya, pimpinan polri jagan segan menindak anggotanya yang terbukti
menyalahgunakan wewenang mengancam citra polri. Keberadaan polri harus
dipertahankan bahkan ditingkatkan demi tuntutan penegakan hukum. Mengingat
polri digaji dari uang rakyat, sehingga kinerja kepolisian jangan justru
merugikan masyarakat bahkan berdampak pada pencitraan kepolisian.
b.
Korlantas Gugat KPK
Penyitaan
barang bukti dalam penggeledahan di gedung Korlantas pada bula Juli 2012
menjadi masalah karena gugatan Korlantas kepada KPK diproses.
Kepala
Korps Lalu Lintas Polri Irjen Pol. Puji Hartanto mengungkapkan tidak
mempermasalahkan penyitaan dokumen yang dilakukan KPK selama dokumen yang
disita berkaitan dengan perkara simulator SIM. Namun, ada dokumen-dokumen
yang tidak terkait simulator yang berada
di tangan KPK. Hal tersebut tentu saja menghambat Kinerja Korlantas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dikhawatirkan kalau dokumen-dokumen ini
tidak segera dikembalikan, makan akan mengganggu pelayanan.
Akibat
disitanya dokumen tersebut oleh KPK, menurut Kuasa Hukum Korlantas
Polri,Juniver Girsang, Korlantas mengalami kerugian. Namun, dia tidak
menyebutkan nilai potensi kerugian yang diderita Korlantas akibat penyitaan
dokumen itu. Nilai kerugian artinya pelayanannya jadi tidak prima saja, tidak
komprehensif.
Korlantas
sebelumnya sudah mengirimkan surat rincian dokumen yang diminta, semuanya tidak
terkait dengan perkara simulator SIM. Tetapi, tidak diketahui apa yang menjadi
alasan KPK tidak mengembalikan dokumen yang diminta Korlantas. Akan tetapi
surat itu belum juga dibalas secara resmi dan diambangkan, makanya berdasarkan
surat itu Korlantas melakukan upaya hukum dengan gugatan perdata.
Perkara
tersebut diajukan oleh Irjen Pol Drs. Pudji Hartanto, dengan nomor perkara
542/PDT/2012/PN-Jaksel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidangnya,
dilaksanakan pada tanggal 1 November 2012 yang dipimpin Hakim Kusno, dibantu
dua orang hakim anggotanya Ari Jiwantara dan Samsul Edi, dan paniteranya Siti
Julaeka.
Dalam
gugatannya Korlantas meminta KPK mengembalikan dokumen-dokumen sitaan yang
dianggap tidak berkaitan dengan penyidikan kasus simulator SIM. Pihak Korlantas
mengklaim mengalami kerugian akibat penyitaan dokumen yang tidak relevan oleh
KPK. Terkait dengan gugatan ini, KPK siap menghadapinya. Pimpina KPK sudah menunjuk
Kepala Biro Hukum KPK untuk membuat klarifikasi-klarifikasi atas gugatan
tersebut.
Juru
bicara KPK (Johan Budi) mengatakan dokumen hasil sitaan tersebut tentunya akan
ditelaah terlebih dahulu, apakah secara langsung bisa menguatkan sangkaan
terhadap seseorang atau tidak. Jika nanti dokumen-dokumen atau barang bukti
yang disita KPK itu memang tidak berkaitan dengan perkara, KPK akan
mengembalikannya kepada Korlantas.
Pada
saat penggeledahan itu, pihak Korlantas Polri ikut menyaksikannya juga. Sejumlah
dokumen dan barang bukti yang disita KPK pun dicatat dalam berita acara
penggeledahan yang diketahui pihak Korlantas. Ketika itu tidak ada persoalan.
Tapi, sekarang pihak Korlantas bilang ada hal-hal yang tidak terkait kasus
kemudian dinyatakan ikut tersita oleh KPK, padahal ketika proses penggeledahan
dan penyitaan pada waktu itu disaksikan Korlantas juga.
Sehubungan
dengan hal tersebut, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak
mempermasalahkan bila Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri melakukan gugatan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama memiliki dasar. KPK sebagai lembaga biasa, bisa saja dimintai
pertanggungjawabannya terkait penguasaan barang bukti yang tidak tersangkut dan
tidak ada kaitannya dengan kasus simulator SIM.
Sementara,
anggota Kompolnas yang lainnya, M. Nasser berpendapat agar Korlantas mencabut
gugatannya guna mencegah memburuknya citra polri, khususnya atas munculnya
berbagai dugaan dan spekulasi yang tidak perlu. Selain itu juga sangat tidak
logis sesama komponen penegak hukum saling gugat perdata. Jangan beri celah
pada berkembangnya isu sektoral dalam penegakan hukum.
c.
Akhir dari Polemik KPK dan Polri
Saat ini, banyak pihak merasa prihatin dengan
kondisi dua lembaga penegak hukum (Polri dan KPK) yang sedang tidak akur. Kasus
dugaan korupsi pengadaan Simulator SIM yang menjerat Irjen Djoko Susilo, sudah
terlanjur menjadi konsumsi publik.
Puncaknya, ketegangan kedua lembaga itu
adalah
ketika Polri berusaha mengepung dan menangkap seorang penyidiknya (Kompol Novel
Baswedan) di Gedung KPK (5 oktober
2012). Tindakan para aparat kepolisian yang sepertinya secara sengaja ingin
melakukan pelemahan terhadap KPK. seharusnya kepolisian merasa malu, dimana
disaat bersamaan rakyat mendukung penuh eksistensi lembaga KPK.
Aktivis
Change.org, Usman Hamid memaparkan bahwa sudah 5.500 (lima ribu lima ratus)
petisi dari masyarakat yang terkumpul dalam rangka mendukung penangan kasus
simulator SIM oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Petisi ini telah
dikirimkan ke email Presiden Susilo Bambang Yudhoyon dan Kapolri Jend. Pol.
Timur Pradopo. Awal mula pengguliran petisi ini yakni merujuk pada peristiwa
ketika penyidik KPK dihadang oleh aparat kepolisian ketika mengambil sejumlah
barang yang akan dijadikan bukti atas kasus korupsi tersebut, kemudian
berlanjut pada kebijakan Kapolri menarik 20 penyidiknya dari KPK. Petisi ini
meminta Presiden mengambil sikap tegas terkait dugaan korupsi yang melibatkan
pejabat Polri dan mengembalikan penyidik serta mempercayakan penanganan kasus
simulator SIM ini ke KPK.
Atas insiden di Gedung KPK itu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyesalkan langkah yang diambil Polri.
Akibatnya berkembang berita yang simpang siur, sehingga menimbulkan masalah
sosial politik baru.
Presiden mengakui bahwa masih banyak pelaku korupsi bahkan di pemerintahan,
parlemen, DPRD dan diantara penegak hukum. Sorotan atas masalah korupsi ini
disampaikan Presiden di tengah pertarungan besar antara KPK dengan Polri.
Persoalan penanganan
perkara Simulator SIM ini, 2 (dua) mantan pimpinan KPK beda pendapat. Mantan
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Penindakan, Bibit Samad Riyanto, menyarankan agar
penanganan kasus dugaan korupsi proyek simulator SIM di Korlantas Polri
ditangani bersama oleh KPK dan Polri. Hal itu, menurut Bibit, dapat disiasati
dengan
merujuk kepada nota kesepahaman yang telah dibuat bersama.
Sebab, pengalamannya dulu sudah pernah joint investigation dengan polri. Bisa
saja bosnya (pelaku utama koruptor) ditangani KPK,
sementara bawah-bawahnya ditangani Polri.
Berbeda
dengan Bibit, mantan pimpinan KPK lainnya (M.Jasin) justru menyarankan agar
penyelesaian kasus simulator SIM itu harus ditangani sepenuhnya oleh KPK.Kita
bisa melihat sekarang ini, kasus itu sudah terjadi dan sudah masuk ke KPK. KPK
tentunya tidak bisa menghentikan itu (tidak bisa melakukan SP3).
Jika
hanya berlandaskan pada MoU, hal itu tidak kuat, karena kedudukan MoU berada di
bawah Undang-Undang KPK. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kerap
memakai alasan Nota Kesepahaman (MoU) untuk mengambil alih penanganan perkara
dugaan korupsi simulator SIM dari KPK. Sehingga, berdasarkan MoU dengan KPK
Polri beralibi dapat menangani kasus serupa.
Namun,
hal tersebut dibantah oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar,
menurutnya, MoU tidak bisa dijadikan dasar untuk mengabaikan undang-undang
(UU). Bahwa , MoU itu hanya kesepakatan
saja yang tidak boleh bertentangan dan menyimpang dari UU. Dengan begitu yang
lebih kuat dan mengikat itu adalah undang-undang.
Berdasarkan
Pasal 50 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sangat jelas bahwa
otoritas penanganan kasus pengadaan simulasi SIM merupakan kewenangan KPK.
Disamping itu, MoU yang selama ini dijadikan alasan Polri untuk menangani kasus
ini, ternyata juga menguatkan bahwa KPK-lah yang berhak melanjutkan penyidikan
kasus ini. Hal ini mengacu pada proses penyelidikan yang lebih dahulu dilakukan
oleh KPK, 20 Januari 2012 dan penyidikan tanggal 27 Juli 2012. Dibandingkan
Polri, baru mulai penyelidikan tanggal 26 April 2012 dan penyidikan 31 Juli
2012. Apabila dilihat dari aspek subjektifitas penilaian atas kinerja Polri
saat ini, tentunya persoalan konflik kepentingan dan keseriusan penuntasan
kasus menjadi catatan penting.
Berbagai
riset publik menunjukkan bahwa masyarakat menganggap institusi kepolisian
sebagai lembaga paling korup. Jajak pendapat Lembaga Survey Indonesia (LSI)
menunjukkan bahwa masyarakat menilai polisi gagal dalam menangani praktek
korupsi internal. Sementara itu, survey Transparansi Internasional Indonesia
memperlihatkan bahwa 31 persen masyarakat menilai kepolisian sebagai lembaga
paling korup.
Berdasarkan
itu semua, maka polri harus segera menyerahkan penanganan kasus pengadaan
simulator SIM ini kepada KPK. Apabila kisruh ini tidak diakhiri dan polri tetap
bersikeras dengan arogansinya yang tidak berdasar tersebut, maka akan muncul
asumsi-asumsi liar. Seperti kecurigaan menganalisasi kasus, melindungi sesama
korps dan sebagainya yang pada akhirnya semakin memperburuk citra polri dan
membuat kepercayaan publik atas komitmen mereformasi dan memperbaiki diri
semakin jauh atau tidak dipercaya. Selain itu yang lebih penting dan sangat
mengkhawatirkan adalah akan muncul preseden buruk dalam penegakan hukum, dimana
lembaga penegak hukum nyata-nyata melanggar atau mengabaikan hukum itu sendiri.
Penegakan hukum seharusnya tegas dalam
pengertian bahwa hukum itu tidak dipermain-mainkan atau tidak diperjualbelikan
untuk kepentingan dan keuntungan pribadi pejabat penegak hukum. Semestinya pula
hukum tidak diperlakukan berbeda-beda kepada masyarakat. Dalam pandangan
filsafat, tujuan akhir hukum adalah keadilan. Keadilan merupakan perpaduan
harmonis antara hukum dan moralitas. Keadilan hukum adalah keadilan setiap
individu di depan hukum. Setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama
di depan hukum. Misalnya kalau pejabat yang melakukan
pelanggaran, persoalannya bisa lenyap. Tapi, kalau rakyat jelata pelakunya,
hukum berlaku dengan tegas. Terhadap mereka berlaku ungkapan Oliver Goldsmith:law grind the poor and richmen rule the law
(hukum hanya menggilas orang miskin, sebaliknya orang kaya menguasai hukum).
Semua
warga negara baik itu pejabat maupun yang jelata, semestinya bisa dihadapkan
pada proses hukum atau bahkan mendapat sanksi hukum yang keras. Sehingga, sudah
selayaknya semua penegak hukum, baik KPK, Kejaksaan maupun Polri supaya tidak
segan-segan lagi untuk memproses kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat
nonaktif maupun aktif. Namun, perlu digaris bawahi, hal ini akan sangat
bergantung pada sikap politik Presiden sendiri, sejauh mana keseriusan Presiden
memberi dukungan politik kepada KPK.
Meminjam
statment Pakar Komunikasi Politik, Effendi
Ghazali : “ kalau rakyat mempertanyakan dimana SBY, itu
bukan menunjukkan tempat, tapi dimana positioning SBY sebagai Presiden jika
terjadi kembali kasus pelemahan terhadap KPK. Kalimat ‘dimana SBY’ ini menarik,
rakyat menanyakan keberadaan SBY, apakah kalimat-kalimat ini dijawab atau tidak
oleh SBY kita lihat nanti, Presiden berada paling depan itu bukan berarti
intervensi karena Presiden merupakan lembaga tinggi negara yang berada di atas
Polri dan KPK”.
Menurut Pakar
Hukum Pidana, Gandjar Laksmana :“Presiden
ikut campur bukan ikut campur sembarangan, Presiden itu pemegang kekuasaan
tertinggi eksekutif, dan Presiden punya secuil kewenangan di bidang yudikatif,
makanya Presiden berhak memberikan Grasi, Remisi. Yang kita minta bukan
terhadap materi kasus. Presiden bisa masuk ke kepolisian, dia cukup perintahkan
Kapolri, jadi itu bukan intervensi, itu kewenangan presiden sebagai pemimpin
eksekutif tertinggi.”
Kemudian,
dipertegas oleh Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan “ Presiden punya tanggungjawab moral untuk
mengambil sikap yang tegas, menjadi bagian dari negara untuk
memberantas korupsi. Karena kita semua harus perhatikan. Tolonglah para
pengelola negara ini takut pada sejarahwan. Sejarahwan akan menulis hari-hari
ini sebagai priode yang mendiamkan koruptor atau periode yang membasmi
koruptor.
Bahkan menurut
praktisi hukum, Taufik Basari “Presiden
dapat melanggar konstitusi, jika membiarkan kisruh penanganan kasus korupsi
pengadaan simulator SIM antara Polri dan KPK terus berlanjut. Presiden bisa
disebut melakukan pembiaran atau turut melanggar undang-undang.
Oleh karena
besarnya episentrum dampak yang ditimbulkan oleh polemik ini, maka Presiden
selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang merupakan atasan langsung
dari kapolri, semestinya mengambil tindakan untuk mengakhiri polemik ini.
Apabila Presiden terus membiarkan polemik ini, selain akan membuat citra polri
terus terpuruk di mata publik, namun sebagai atasan langsung dari Kapolri,
Presiden juga akan mendapat imbas citra buruk dari polemik kasus ini.
Bagaimanapun sikap diam Presiden tersebut akan dapat memunculkan berbagai
anggapan publik yang diantaranya anggapan presiden membiarkan atau bahkan
merestui dugaan. Bagaimanapun sikap diam Preseiden tersebut akan dapat
memunculkan berbagai anggapan publik, diantaranya anggapan Presiden membiarkan
atau bahkan merestui dugaan pelanggaran atas UU No.30 Tahun 2002 yang dilakukan
Polri.
Sekretaris
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Dipo Alam dengan nada lantang membantah
bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkesan melakukan pembiaran atas
perseteruan antara KPK dengan Polri. Presiden
pasti akan menepati janjinya untuk memberantas tindak pidana korupsi yang telah
mengakar di Indonesia. Intinya pemberantasan korupsi itu sudah menjadi janji
Presiden.
Akhirnya, Presiden
mengundang pimpinan KPK dan kepolisian untuk menyelesaikan masalah ini. Akan
tetapi hasilnya mengecewakan, karena dalam pertemuan itu presiden tidak
menunjukkan sikap yang tegas mendukung KPK dalam membersihkan korupsi di
lingkungan polisi.
Disadari
sepenuhnya bahwa mencari solusi dalam konteks pemahaman hukum bukanlah
pekerjaan mudah, apalagi nuansa kepentingan politik sesaat yang membumbui
menjadikan kesadaran akan pemulihan hukum masih jauh dari harapan.
Jika presiden
melalui pembantunya (Menkopolhukam), hanya memerintahkan pihak Polri dan KPK
bersinergi tanpa mengambil sikap yang konkrit, maka hal itu benar melanggar
konstitusi. Soal siapa yang berhak menangani kasus itu, kita bisa bergantung
kepada presiden untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, presiden harus segera
menyelesaikan perkara tersebut. Masih ada waktu bagi Presiden untuk meluruskan
kembali masalah ini dengan cara memerintahkan Kapolri menghentikan penanganan
perkara itu.
Belajar dari
pengalaman itulah, maka korelasi politik dan hukum sebagai dua sisi mata uang
yang tak terpisahkan menjadikan para politisi yang nota bene sebagai pencetak
dan pelaksana peraturan seharusnya mampu untuk mencermati kembali
persoalan-persoalan nasional secara jernih jangan hanya melihat dari satu optik
saja.
Memahami persoalan diatas,
tentunya kita dapat bercermin pada persoalan-persoalan hukum di tanah air,
sebutlah “tuntutan reformasi” ditahun 1998. Kesulitan yang paling krusial
adalah, darimana kita harus mulai untuk memperbaiki carut marutnya hukum bangsa
ini. Meminjam istilah Julia Kristeva (Pemikir Post modernis), inilah sebuah
kondisi objektif, yaitu suatu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dan
tidak ada harapan, objek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan dimana setiap
orang tengah bermain-main dan terlibat permainan untuk mempermainkan hukum. Ada
yang menangis, tertawa, berjualan, telanjang, tidak punya malu dan ada apa saja
didalamnya.
Terkait
langkah hukum terhadap Kompol Novel Baswedan yang diduga melakukan penganiayaan
saat menjabat Kasat Reskrim di Polres Bengkulu tahun 2004 lalu, SBY secara
tegas mengatakan proses hukum terhadap Novel sangat tidak tepat, baik waktu,
pendekatan dan tata cara pelaksanaannya.
Semua warga
negara mulai dari Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, Pimpinan KPK, DPR hingga
masyarakat memiliki persamaan dihadapan hukum. Jangan sampai ada motivasi lain
dalam penegakan hukum, khusunya terhadap Kompol Novel yang saat ini sedang
melakukan penyidikan kasus korupsi Simulator SIM.
Masalah
kewenangan kasus simulator SIM antara Polri dan KPK, bisa diselesaikan jika
semua pihak mau duduk memusyawarahkannya. Akhirnya, Presiden SBY memberikan
lima solusi untuk menyelesaikan konflik antara KPK dan Polri, antara lain:
1.
Penanganan hukum dugaan korupsi
simulator SIM yang melibatkan Irjen Pol Djoko Susilo ditangani KPK, termasuk
penanganan tersangka lain dalam kasus tersebut dan tidak dipecah.
2.
Penegakan hukum terhadap Kompol Novel
Baswedan dilakukan tanpa keadilan, hal itu tidak boleh terjadi.
3.
Polri dan KPK harus mengatur kembali
masa jabatan waktu penyidik Polri dan KPK.
4.
Revisi UU KPK kurang tepat dilakukan
saat ini.
5.
KPK dan Polri perlu memperbaharui
MoU-nya untuk banyak hal. Termasuk soal pembantuan personel Polri sebagai
penyidik di KPK. Sebaliknya, KPK juga harus berkoordinasi dengan Polri.
Berkaitan
dengan hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan
penghargaan tinggi terhadap pernyataan Presiden SBY dalam menyikapi polemik
yang terjadi antara KPK dan Polri.
Sementara
itu, Kapolri Jendral Timur Pradopo menyatakan, polisi mendukung upaya penegakan
hukum yang berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi. Siapa pun yang melakukan tindak pidana
korupsi harus tetap diproses secara hukum. Berkaitan dengan itu, polri akan
segera melaksanakan perintah Presiden SBY terkait penanganan kasus simulator
SIM. Namun demikian, pihak kepolisian akan melakukan koordinasi terlebih dulu
dengan KPK. Koordinasi ini dilakukan, khsusunya terkait pengalihan tugas
penanganan penyidikan kasus simulator SIM yang selama ini sudah dilakukan
Polri.
Sehubungan
dengan itu, penyidik dari Mabes Polri menyambangi KPK pada tanggal 15 Oktober
2012. Hal itu dilakukan guna menggelar ekspose perkara dugaan korupsi proyek
simulator SIM. Mabes Polri juga mengkoordinasikan soal pelimpahan kasus senilai
Rp.196,8 miliar itu ke KPK, menyusul perintah Presiden untuk menyerahkan ke
KPK. Selain itu, sejumlah barang bukti juga diserahkan untuk penyidikan lebih
lanjut. Ekspose ini merupakan tindaklanjut koordinasi antara KPK dan Mabes
Polri sekaligus menyikapi hasil mediasi yang diatur oleh Menteri Sekretaris
Negara.
KPK
sebagai Lembaga superbody di negeri ini juga menyambut baik dan mengapresiasi
sikap legowo Kapolri yang menunjukkan kebijaksanaannya sebagai penegak hukum.
Terlebih, Kapolri dapat menyetujui kesepakatan bila penanganan kasus simulator
SIM Korlantas Polri, dapat ditangani KPK dalam satu paket.
Kemudian,
Kabareskrim Polri Komjen Pol. Sutarman sudah memerintahkan bawahannya untuk
berdiskusi dengan penyidik KPK. Hal itu dilakukan terkait pelimpahan berkas
kasus dugaan korupsi simulator SIM. Polri mengutus Direktur Tindak Pidana
Korupsi Bareskrim Polri, Nur Ali untuk membahas dan mendiskusikan mekanisme
hukum pelimpahan berkas kasus dugaan korupsi SIM dengan penyidik KPK. Sehingga
aturan semua dipatuhi dan polri menjalankan apa yang menjadi directive pak
Presiden. Dalam kesempatan lain Polri juga sedang membahas mekasnisme
pelimpahan berkas kasus dugaan korupsi Simulator SIM dengan Kejaksaan Agung.
Polri juga membantah pihaknya akan menghentikan penyidikan kasus tersebut,
Polri tidak akan menghentikan proses penyidikan tersebut, kalau menghentikan
tidak ada rumusan hukumnya, makanya nanti polri akan rumuskan penanganan yang
baik, supaya tidak melanggar hukum.
Polri
telah siap jika harus menyerahkan berkas perkara tersangka bersama itu sekarang
juga kepada KPK. Namun begitu, polri tidak dapat memastikan apakah KPK siap
atau tidak untuk menerima berkas tersebut. Bareskrim Polri, juga sedang
melakukan komunikasi dan diskusi dengan Kejaksaan dan Pengadilan terkait izin
penyitaan dan perpanjangan barang bukti. Diskusi ini akan dilakukan secepatnya
agar dapat langsung diserahkan kepada KPK untuk ditangani lebih lanjut.
Sebagai konsekuensi dari kesediaan
Polri untuk menyerahkan kasus simulator SIM ini disidik oleh KPK sesuai dengan
pidato pengarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Banyak pihak mengharapkan
sesudah kasus simulator SIM ini, Polri akan lebih serius untuk melakukan
reformasi di internalnya. Harapan rakyat sangat besar terhadap Polri untuk melaksanakan
tugasnya secara professional kedepan dalam rangka pemberantasan korupsi dan
melindungi kepentingan masyarakat.
Sudah
sepantasnya hubungan antara KPK dan Polri harus dijaga untuk memperlancar
pemberantasan korupsi. Hal ini, harus disadari kedua institusi. Kalau semakin
ada ketegangan antara KPK-Polri tidak baik juga untuk KPK. Karena yang
mempunyai kewenangan membawa senjata dan mengawal tahanan, termasuk institusi
yang bisa mengeksekusi hanya polisi.
Serambi
News.com, http://aceh.tribunnews.com/2012/08/10/kapolri-akan-tindak-tegas-anggotanya-yang-korup
Kabar
Indonesia, 5 September 2012, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=PERANG+MELAWAN+KORUPSI%3A+Antara+yang+Baik%2C+Jahat%2C+dan+Duduk+Manis&dn=20120905003109
Kompas.com, 31
Juli 2012,
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/31/02145457/Busyro.Benar.Penyidik.KPK.Geledah.Korlantas
Kompas.com,31
Juli 2012,
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/31/11350880/Alasan..Polri.Juga.Tangani.Proyek.Simulator?utm_source=nasional&utm_medium=cpc&utm_campaign=artbox
Tribunnews.com - Selasa, 27 November 2012, http://www.tribunnews.com/2012/11/27/ada-apa-dpr-tiba-tiba-dpr-pangil-bekas-penyidik-
Tribunnews.com - Rabu, 28 November 2012, http://www.tribunnews.com/2012/11/28/adang-minta-kpk-polri-tak terpengaruh-eks-penyidik-kpk
Suara Pembaruan.com, Kamis, 29 November 2012,http://www.suarapembaruan.com/politikdanhukum/icw-pertanyakan-motif-penyidik-beberkan-kejanggalan-kpk/27532
Tribunnews.com - Selasa, 27 November 2012 , http://www.tribunnews.com/2012/11/27/tuduhan-mantan-penyidik-soal-miranda-sudah-terbantah-di-pengadilan
Tribunnews.com - Selasa, 27 November 2012,http://www.tribunnews.com/2012/11/27/kpk-tanggapi-pernyataan-mantan-penyidik-kompol-hendi
Suarapembaruan.com, 28 November 2012, http://www.suarapembaruan.com/metropolitan/ketua-pbnu-minta-polri-jaga-citra-dan-moral/27485
Kompas.com, 25 Oktober 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/10/25/19203319/Sita.Dokumen.Korlantas.Gugat.KPK
Inilah.com, 3 November 2012 , http://nasional.inilah.com/read/detail/1921981/hari-ini-sidang-perdana-gugatan-polri-terhadap-kpk
SerambiNews.com, 30 Oktober 2012, http://aceh.tribunnews.com/2012/10/30/kpk-diminta-percepat-seleksi-barang-bukti-simulator-sim
Serambi
News.com, 24 September 2012. http://aceh.tribunnews.com/2012/09/24/5-ribu-petisi-dukung-kpk-tangani-kasus-simulator-sim
Serambi News.com,
http://aceh.tribunnews.com/2012/08/14/2-mantan-pimpinan-kpk-beda-pendapat-soal-simulator-sim
Serambi
News.com,
http://aceh.tribunnews.com/2012/08/07/hakim-mk-uu-lebih-sakti-dari-mou
Redaksi-kabarindonesia, 5 September 2012. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=PERANG+MELAWAN+KORUPSI%3A+Antara+yang+Baik%2C+Jahat%2C+dan+Duduk+Manis&dn=20120905003109
Kompas.com, 6 Oktober 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/10/06/12210317/Seskab.Bantah.SBY.Biarkan.Perseteruan.KPK-Polri
Tribunnews.com, 15 Oktober 2012,
http://aceh.tribunnews.com/2012/10/15/kpk-polri-ekspose-kasus-simulator-sim-bersama
Tribunnews.com, 10 Oktober 2012,
http://aceh.tribunnews.com/2012/10/10/polri-siap-serahkan-berkas-kasus-simulator-sim-ke-kpk