Studi mengenai
konflik dan sengketa menandai kelahiran suatu disiplin ilmu hukum dengan
pendekatan antropologi, yang sekarang dikenal sebagai “antropologi hukum”.
Sebelum studi ini bahkan pernah dikenal sebagai “anthropology of dispute
settlement”. Ternyata studi sengketa tidak pernah habis untuk dipeajari dalam
antropologi hukum sampai sekarang, baik untuk kepentingan akademik maupun
prkatis. Sangatlah penting untuk mengkaji hukum dalam isu-isu sengketa, karena
hukum bersemai dalam sengketa. Adamson
Hoebel, Bapak Antropologi Hukum Amerika, bahkan sangat percaya bahwa metode
yang paling tepat untu menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat hanyalah
melalui diamatinya suatu sengketa. Putusan yang dihasilkan oleh pemegang
otoritas dalam penyelesaian sengketa, itulah yang dianggap sebagai hukum.
Bila hari ini
lapangan praktik hukum modern mengembangkan Alternative
Dispute Resolution (ADR), ada baiknya untuk mencermatinya sebagai bidang
yang bersentuhan dengan studi sengketa yang terus dipelajari dari perspektif
antropologi hukum. Prinsip-prinsip dalam ADR dapat ditemukan dalam karakter
sengketa yang dipelajari secara antropologis. Penyelesaian sengketa bertujuan
untuk mencapai win-win solution (compromise) dimana semua phak merasa
diuntungkan dan dimenangkan. Berneda dengan sengketa dalam hukum Barat, yang
dilandasi prisip equality before the law, siapapun diperlakukan sama di muka
hukum. Konsekuensinya dalam sengketa adalah, siapa saj yang bersalah aka
dinyatakan kalah dan sebaliknya yang benar akan menang. Pada masyarakat
non-Barat, prinsip winlose di akhir sengketa tidak diinginkan, karena adanya
budaya malu, atau takut kehilangan muka. Itu sebabnya banyak keputusan pengadilan, bahkan pada tingkat pengadilan
yang lebih tinggi sekalipun, tidak sungguh-sugguh mendamaikan para pihak yang
berselisih.
Sengketa di Luar Pengadilan
Sebenarnya
keengganan membawa sengketa ke pengadilan (negara) dapat ditemukan pada banyak
masyarakat Asia, seperti Jepang. Dalam penelitiannya, Andrew MacNaughton (2003)
menemukan bahwa bagi orang Jepang, hukum (negara) adalah sesuatu yang asing.
“When
stated, law is often portrayed as something that Japanese do not use or do not
need: To never use the law, or be involved with the law, is the normal hope of
honorable people. To take someone to court to guarantee the protection of one’s
own interest, or to be mentioned in court, even in a civil matter, is a
shameful thing. In a word, Japanese do not like law (Noda, 1976 dalam
MacNaughton,2003)
Penelitian
lain tentang sengketa di Jepang adalah antara pemilik pabrik kimia dan
masyarakat yang hidup di Teluk Minamata sekitar tahun 1940-an. Pencemaran yang
begitu hebat dan berdampak pada kesehatan (Minamata Disease), tidak menyebabkan
masyarakat membawa masalah tersebut ke pengadilan. Ketakutan akan hilangnya
hubungan baik dengan pemilik pabrik yang sudah memberi mereka kesejahteraan,
lapangan kerja, pendidikan dan sarana kesehatan tampak lebih diperhitungkan
dibandingkan keinginan untuk memenangkan perkara (Starr & Collier, 1989)
Lebih
luas lagi, kecenderungan orang untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
juga dapat ditemukan pada masyarakat berkultur Barat. Sejak lama,
pekerja-pekerja di suatu pabrik di Chili dalam mencari keadilan lebih memilih
cara mediasi melalui lembaga yang disebut the inspectorat (semacam lembaga
mediasi), padahal mereka memiliki Labour Court (pengadilan buruh) (Ietswaart,
1982:625-667). Hubungan kontrak antar perusahaan di negara-negara sosialis
Polandia ditangani secara arbitrasi oleh badan yang disebut arbitracs
(Kurczewski dan Frieske, 1974). Sementara itu cara-cara negosiasi lebih disukai
dalam transaksi antara perusahaan-perusahaan besar di Amerika, meskipun mereka
secara hukum mengikatkan diri pada kontrak perjanjian yang mengatur secara
rinci mengenai apa yang harus dilakukan bila terjadi sengketa (Macauly,
1963:55-66). Dalam kaitannya dengan sengketa yang melibatkan orangorang dari
bangsa dan latar belakang budaya yang berbeda, tetapi tinggal di wilayah yang
sama, di San Diego, Amerika, dikembangkan Community Mediation Center, yang
keberhasilannya dalam menyelesaikan sengketa rata-rata mencapai 90% (Rohrl,
1993:132).
Dalam
penyelesaian sengkea yang bersifat kompromistis hakim lebih berfungsi sebagai
fasilitator. Dalam mengambil putusan ia mempertimbangkan hal-hal yang
disampaikan oleh para pihak. Para pihak yang saling berhadapan merasakan bahwa
putusan yang dihasilkan adalah bagian dari keinginan dan nilai keadilan
sebagaimana yang diharapkannya. Hal yang lebih dipentingkan di sini bukanlah
substansi hukum, tetapi prosedur, yaitu bagaimana sengketa bisa berakhir agar
ketegangan sosial dapat dihilangkan.
Berdasarkan
sumber pengaturan, pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti
sengketa adat, dilandasi oleh law ways (cara berhukum) masyarakat lokal.
Nilai-nilai adat, agama dan kebiasaan sarat terkandung dalam proses
penyelesaian sengketa semacam itu. Hukum negara, hukum internasional, dan nilai-nila
universal seperti hak asasi manusia juga menjadi acuan bagi penyelesaian
sengketa.
Pada
masyarakat yang kompleks terdapat jarak pemisah antara struktur formal dan
prosedur kelembagaan. Akibatnya muncul keadaan di mana proses formal (beracara
di pengadilan negara) cenderung dihindarkan. Dari tulisan Daniel Lev, dapat
diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa yang di dalamnya dapat
ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung menghindari peradilan negara.
(1) penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi
(penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi. (2) gaya
penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum
masyarakat adalh gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi. (3)
aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak
diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu
melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan
sosial. (4) gambaran yang ditampilkan kepada publik adalah tidak ada satu pihak
pun yang benar dan menang. Kedua pihak dianggap salah karena bertengkar dan
telah kembali rukun satu sama lain dengan menghilangkan ketegangan. (5)
hubungan pribadi antar pihak yang berselisih sangat penting, pengadilan negara
juga sring dianggap menerapkan patokan-patokan yang tidak dikenal dalam adat
kebiasaan, atau menrapkan hukum yang lain. Dalam beberapa kasus terlihat adanya
perbedaan substantif antara peradilan negara dan peradilan rakyat. Padahal
masyarakat kurang menaruh perhatian pada aturan hukum materiil (substantif),
karena lebih menyukai penyelesaian dengan sedikit mungkin menimbulkan
ketegangan sosial. (6) budaya untuk berkompromi dalam menyelesaikan
perselisihan tetap kuat dan tidak terbatas pada orang desa saja, tetapi juga
orang kota. Hal ini sangat kontras dengan budaya hukum (Barat) yang cenderung
dikaitkan dengan substansi perkara dan masalah hak (Lev,1990:158-161)
Hal
yang sama mengenai dihindarinya peradilan nega juga dikatakan oleh Keebet von
BendaBeckmann:
They are less familiar with the
way courts (state courts-penulis) work. The ideal of an impartial judge is
familiar, although the also know that many judges are not at all neutral. They
complain that judges tend to be partial to the highest bidder. In general, it
is fair to say that going to court is a gambling game for most villagers (K.
Benda-Beckmann, 1986:141)
Untuk
konteks sejarah Indonesia, di samping karena masalah budaya hukum di atas,
penghindaran penggunaan peradilan negara juga disebabkan oleh kelaziman
menggunakan konsiliasi dan arbitrasi dalam dunia perdagangan, terutama oleh
pedagang Cina, sejak Indonesia merdeka. Hal ini dilakukan karena alasan
efisiensi, kemanfaatan dan kepercayaan. Prosedur peradilan membuat para
pengusaha jera untuk menggunakannya. Peradilan perdata sangat bertele-tele, dan
terlalu lama. Oleh karena itu perkara yang menyangkut keuangan diajukan ke
pengadilan, hanya jika salah satu piak yang berperkara ingin menunda pembayaran
agar dapat terus menggunakan uangnya atau nilai yang dibayarkannya nanti
menjadi lebih kecil sebagai akibat inflasi. Disamping itu putusan pengadilan
tidak dapat dilaksanakan, belum lagi adanya biaya administratif tambahan yang
perlu dikeluarkan di bawah meja (Lev, 1990:164-166). Hubungan dagang adalah
hubungan kepercayaan. Membawa perkara ke pengadilan negara berarti menghadapi
risiko putusnya hubungan dagang, yang berarti kerugian secara ekonomis.
Konsep Sengketa
Ada
banyak konsep mengenai sengketa, tetapi pada umumnya suatu sengketa baru
dianggap terjadi bila ada pihak yang meningkatkan keluhan atas ketidakadilan
yang dialaminya, yang semula merupakan konflik, perdebatan dyadic (dua pihak),
ke arena publik. Ini dilakukan secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya
ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkannya (Guilliver, 1973:
667-691). Sengketa denga begitu paling tidak melibatkan tiga pihak atau
mempunyai ciri tryadi dan pihak ketiga menjadi terlibat, atas inisiatif sendiri
atau atas prakarsa salah satu atau kedua pihak (Nader dan Todd 1978:15,
Ihromi,1993:210)
Pandangan
struktural-fungsional melihat sengketa dari sengketanya itu sendiri dengan
memperhatikan sturktur (lembaga, kelompok sosial), dan otoritas penyelesasian
sengketa yang berada di tangan para headman, gigman atau chief yang bertindak
sebagai hakim, beserta teknik untuk menyelesaikannya. Studi-studi berikutnya,
lebih mengarahkan perhatian pada proses-proses sosial di mana sengketa
merupakan bagian di dalamnya.
Faktor Penentu Sengketa
Menurut
Friedman budaya hukum adalah : “...ideas, attitudes, beliefs, expectations and opinoons about law”
(Friedman,1975:7) pada umumnya sarjana hukum mengadakan wacana mengenai hukum
dengan berfokus hanya kepada pengertian hukum sebagai aturan-aturan,
norma-norma, dan asas-asas. Mereka seoalah-olah tidak menyadari bahwa Budaya
hukum pada umumnya sarjana hukum mengadakan wacana mengenai hukum dengan
berfokus hanya pada pengertian hukum sebagai aturan-aturan, norma-norma, dan
asas-asas.
Kenyataan
sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap “beroperasinya hukum dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa
yang terusmus dalam hukum, dengan institusi-institusi dan perilaku-perilaku
orang dalam menyikapi aturan-aturan da norma-norma tersebut (Ihromi, 1998:1).
Untuk
dapat melakukan kajian yang holistik terhadap hukum dan kenyataan sosial,
diperlukan suatu pendekatan empiris yang memungkinkan untuk dapat dilakukan
pengamatan terhadap beroperasinya hukum. Dalam hal ini hukum harus dilihat
sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen. Sebagaimana dikemukan
oleh seorang sosiolog hukum, Lawrence M. Friedman 1975:15). Komponen-komponen
tersebut adalah: legal substance, legal structure, dan legal culture (budaya
hukum, meliputi:ide-ide, sikap, kepercayaan, harapan dan pandangan tentang
hukum)
Lawan Sengketa
Hubungan
sosial para pihak yang bersengketa menentukan ke mana sengketa akan dibawa. Masyarakat
dengan hubungan sosial yang multiplex akan cenderung menggunakan institusi
rakyat melalui mediasi atau arbitrasi. Sementara itu masyarakat dengan hubungan
simplex cenderung menggunakan peradilan negara yang bersifat adjudikatif dan
legalistik (F.Benda-Beckmann, 1985:191).
Studi
lain menunjukkan bahwa hubungan-hubungan sosial (terutama kekerabatan)
memainkan peranan penting dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam studinya
pada masyarakat nelayan skandinavia, Yngvesson menunjukkan bahwa “what is done
is often less important than who did it, so long as the actors involved are
members of the insider category in that community” (Nader dan Todd, 1978:18). Ketika
kelanjutan hubungan sosial dianggap sebagai hal yang penting bagi seseorang,
maka ia akan melakukan upaya apa saja untuk mempertahankan hubungan tersebut. Upaya
itu diantaranya adalah mencari penyelesaian melalui negosiasi atau penyelesaian
dengan perantara (musyawarah), yang pada prinsipnya akan menghasilkan
penyelesaian yang kompromistis, atau bahkan menghindari terjadinya sengketa
(Nader dan todd,1978:17-18).
Jenis Sengketa (Sumber Daya yang Diperebutkan)
Tidak
tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan tidak
memperhitungkan hubungan kekerabatan dari lawan sengketa. Hal itu dapat
disebabkan oleh jenis perkara yang disengketakan, khususnya bila menyangkut
sumber daya material yang sangat besar atau langka. Mengenai sengketa yang
berkaitan dengan sumber daya, Starr dan Yngvesson seperti yang dikutip oleh
Nader dan Todd mengatakan: “in situations in which scarce form the basis of a
dispute, individuals may rank the resource higher than they rank the
relationship and may be willing to sacrifice the social relationship with their
opponents in order to gain access to, or exclusive use of, the resource”
(1978:18)
Selanjutnya
mereka menambahkan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya langka tidak hanya
berupa materi, tetapi bisa juga berupa hal yang non material seperti:
kehormatan, kebanggaan, prestis, kekuasaan dan keberanian (1978:19). Dengan demikian
memang motivasi orang untuk melakukan sengketa adalah beragam: to gain power,
to obtain scarce resources, to gain justice, to compensate for a wrong (Nader
dan Todd,1978:37)
Kesimpulan
Banyak
yang bisa kita pelajari dari studi sengketa dengan perspektif socio-legal
studies. Ilmu hukum menjadi sangat diperkaya dengan menempatkan sengketa pada
relasi-relasi sosial, ekonomi dan politik. Hukummenjadi faktor yang determinan
karena hukumlah yang menentukan batas-batas dalam relasi tersebut.