Jumat, 28 September 2012

PERSOALAN WARISAN


                        Ayah===Ibu
                                   |
                                   |
-----------------------------------------------------------------
|               |                   |                     |                    |
|               |                   |                     |                    |
A             B===F        C                   D===G         E 
                |    |                                        |
                |    |                                        |
                |   H                                       L
                 === I
                  |    |
                  |    |
                  J   K                                   

                                                                                                       
Keterangan :
= : hubungan pernikahan
|   : hubungan darah

Ayah: Pewaris
Ibu: Isteri dari Pewaris/ ibu dari ahli waris, meninggal dunia saat bencana tsunami 2004.
A: Ahli waris (anak laki-laki),meninggal dunia saat bencana tsunami 2004 beserta anak & isteri.
B:Ahli waris (anak perempuan), meninggal dunia karena sakit tahun 2008
C:Ahli waris (anak laki-laki), meninggal dunia saat bencana tsunami 2004.
D:Ahli waris (anak laki-laki),saat ini masih hidup. (D) menikah dengan (G) melahirkan 1 orang anak laki-laki (L). (G) dan (L) saat ini juga masih hidup.
E: Ahli waris (anak laki-laki), meninggal dunia saat bencana tsunami 2004.

Disposisi Kasus:
Si Ayah (pewaris) meninggal dunia pada tahun 1997 disebabkan sakit yang dideritanya, si Ayah meninggalkan seorang isteri dan 5 orang anak yang terdiri 4 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Selain itu, si ayah meninggalkan harta warisan berupa 1 petak tanah dan rumah di daerah punge, 1 petak tanah di Kecamatan Krueng Raya, 1 petak tanah di blang oi.
Setelah Ayah (Pewaris) meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan dibagi/Faraidh kepada para ahli waris, takdir berkata lain.  Si Ibu dan 3 orang ahli waris laki-laki (A),(C) dan (E) tewas saat diterjang bencana tsunami tahun 2004. Sementara, ahli waris yang selamat adalah (B) dan (D).
Ahli waris (B) menikah dua kali;  pernikahan pertama (B) dengan (F), (F) meninggal dunia saat bencana  tsunami 2004, dari pernikahan ini melahirkan 1 orang anak Perempuan (H), dimana (H) saat ini masih hidup dan diasuh oleh pamannya (D).
Pernikahan kedua (B) dengan (I), dari pernikahan ini melahirkan 2 orang anak yaitu 1 orang anak laki-laki (J) dan 1 orang anak perempuan (K). Dimana saat ini, (I),(J) dan (K) masih hidup dan diasuh oleh (I).
Pertanyaan :
Apakah (I) suami kedua dari (B) mendapat harta warisan yang ditinggalkan oleh (B)?
Jawaban:
Pada dasarnya, (I) merupakan ahli waris dari isterinya yaitu (B) yang terikat hubungan pernikahan. Oleh karena itu, (I) berhak mendapat harta warisan yaitu harta bersama atau harta gono gini selama pernikahan.
Adanya harta bersama dalam pernikahan tidak tertutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri dalam perkawinan.
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Harta bawaan masing-masing suami atau isteri dimana harta yang diperoleh masing-masing pihak merupakan hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sehingga, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing.  

Rabu, 26 September 2012

Sengketa Dalam Perspektif Hukum dan Budaya

Studi mengenai konflik dan sengketa menandai kelahiran suatu disiplin ilmu hukum dengan pendekatan antropologi, yang sekarang dikenal sebagai “antropologi hukum”. Sebelum studi ini bahkan pernah dikenal sebagai “anthropology of dispute settlement”. Ternyata studi sengketa tidak pernah habis untuk dipeajari dalam antropologi hukum sampai sekarang, baik untuk kepentingan akademik maupun prkatis. Sangatlah penting untuk mengkaji hukum dalam isu-isu sengketa, karena hukum bersemai dalam sengketa.  Adamson Hoebel, Bapak Antropologi Hukum Amerika, bahkan sangat percaya bahwa metode yang paling tepat untu menemukan hukum yang hidup dalam masyarakat hanyalah melalui diamatinya suatu sengketa. Putusan yang dihasilkan oleh pemegang otoritas dalam penyelesaian sengketa, itulah yang dianggap sebagai hukum.
Bila hari ini lapangan praktik hukum modern mengembangkan Alternative Dispute Resolution (ADR), ada baiknya untuk mencermatinya sebagai bidang yang bersentuhan dengan studi sengketa yang terus dipelajari dari perspektif antropologi hukum. Prinsip-prinsip dalam ADR dapat ditemukan dalam karakter sengketa yang dipelajari secara antropologis. Penyelesaian sengketa bertujuan untuk mencapai win-win solution (compromise) dimana semua phak merasa diuntungkan dan dimenangkan. Berneda dengan sengketa dalam hukum Barat, yang dilandasi prisip equality before the law, siapapun diperlakukan sama di muka hukum. Konsekuensinya dalam sengketa adalah, siapa saj yang bersalah aka dinyatakan kalah dan sebaliknya yang benar akan menang. Pada masyarakat non-Barat, prinsip winlose di akhir sengketa tidak diinginkan, karena adanya budaya malu, atau takut kehilangan muka. Itu sebabnya banyak keputusan  pengadilan, bahkan pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi sekalipun, tidak sungguh-sugguh mendamaikan para pihak yang berselisih.  
Sengketa di Luar Pengadilan
                Sebenarnya keengganan membawa sengketa ke pengadilan (negara) dapat ditemukan pada banyak masyarakat Asia, seperti Jepang. Dalam penelitiannya, Andrew MacNaughton (2003) menemukan bahwa bagi orang Jepang, hukum (negara) adalah sesuatu yang asing.
                “When stated, law is often portrayed as something that Japanese do not use or do not need: To never use the law, or be involved with the law, is the normal hope of honorable people. To take someone to court to guarantee the protection of one’s own interest, or to be mentioned in court, even in a civil matter, is a shameful thing. In a word, Japanese do not like law (Noda, 1976 dalam MacNaughton,2003)
                Penelitian lain tentang sengketa di Jepang adalah antara pemilik pabrik kimia dan masyarakat yang hidup di Teluk Minamata sekitar tahun 1940-an. Pencemaran yang begitu hebat dan berdampak pada kesehatan (Minamata Disease), tidak menyebabkan masyarakat membawa masalah tersebut ke pengadilan. Ketakutan akan hilangnya hubungan baik dengan pemilik pabrik yang sudah memberi mereka kesejahteraan, lapangan kerja, pendidikan dan sarana kesehatan tampak lebih diperhitungkan dibandingkan keinginan untuk memenangkan perkara (Starr & Collier, 1989)
                Lebih luas lagi, kecenderungan orang untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan juga dapat ditemukan pada masyarakat berkultur Barat. Sejak lama, pekerja-pekerja di suatu pabrik di Chili dalam mencari keadilan lebih memilih cara mediasi melalui lembaga yang disebut the inspectorat (semacam lembaga mediasi), padahal mereka memiliki Labour Court (pengadilan buruh) (Ietswaart, 1982:625-667). Hubungan kontrak antar perusahaan di negara-negara sosialis Polandia ditangani secara arbitrasi oleh badan yang disebut arbitracs (Kurczewski dan Frieske, 1974). Sementara itu cara-cara negosiasi lebih disukai dalam transaksi antara perusahaan-perusahaan besar di Amerika, meskipun mereka secara hukum mengikatkan diri pada kontrak perjanjian yang mengatur secara rinci mengenai apa yang harus dilakukan bila terjadi sengketa (Macauly, 1963:55-66). Dalam kaitannya dengan sengketa yang melibatkan orangorang dari bangsa dan latar belakang budaya yang berbeda, tetapi tinggal di wilayah yang sama, di San Diego, Amerika, dikembangkan Community Mediation Center, yang keberhasilannya dalam menyelesaikan sengketa rata-rata mencapai 90% (Rohrl, 1993:132).
                Dalam penyelesaian sengkea yang bersifat kompromistis hakim lebih berfungsi sebagai fasilitator. Dalam mengambil putusan ia mempertimbangkan hal-hal yang disampaikan oleh para pihak. Para pihak yang saling berhadapan merasakan bahwa putusan yang dihasilkan adalah bagian dari keinginan dan nilai keadilan sebagaimana yang diharapkannya. Hal yang lebih dipentingkan di sini bukanlah substansi hukum, tetapi prosedur, yaitu bagaimana sengketa bisa berakhir agar ketegangan sosial dapat dihilangkan.
                Berdasarkan sumber pengaturan, pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti sengketa adat, dilandasi oleh law ways (cara berhukum) masyarakat lokal. Nilai-nilai adat, agama dan kebiasaan sarat terkandung dalam proses penyelesaian sengketa semacam itu. Hukum negara, hukum internasional, dan nilai-nila universal seperti hak asasi manusia juga menjadi acuan bagi penyelesaian sengketa.
                Pada masyarakat yang kompleks terdapat jarak pemisah antara struktur formal dan prosedur kelembagaan. Akibatnya muncul keadaan di mana proses formal (beracara di pengadilan negara) cenderung dihindarkan. Dari tulisan Daniel Lev, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung menghindari peradilan negara. (1) penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi (penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi. (2) gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat adalh gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi. (3) aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan sosial. (4) gambaran yang ditampilkan kepada publik adalah tidak ada satu pihak pun yang benar dan menang. Kedua pihak dianggap salah karena bertengkar dan telah kembali rukun satu sama lain dengan menghilangkan ketegangan. (5) hubungan pribadi antar pihak yang berselisih sangat penting, pengadilan negara juga sring dianggap menerapkan patokan-patokan yang tidak dikenal dalam adat kebiasaan, atau menrapkan hukum yang lain. Dalam beberapa kasus terlihat adanya perbedaan substantif antara peradilan negara dan peradilan rakyat. Padahal masyarakat kurang menaruh perhatian pada aturan hukum materiil (substantif), karena lebih menyukai penyelesaian dengan sedikit mungkin menimbulkan ketegangan sosial. (6) budaya untuk berkompromi dalam menyelesaikan perselisihan tetap kuat dan tidak terbatas pada orang desa saja, tetapi juga orang kota. Hal ini sangat kontras dengan budaya hukum (Barat) yang cenderung dikaitkan dengan substansi perkara dan masalah hak (Lev,1990:158-161)
                Hal yang sama mengenai dihindarinya peradilan nega juga dikatakan oleh Keebet von BendaBeckmann:
They are less familiar with the way courts (state courts-penulis) work. The ideal of an impartial judge is familiar, although the also know that many judges are not at all neutral. They complain that judges tend to be partial to the highest bidder. In general, it is fair to say that going to court is a gambling game for most villagers (K. Benda-Beckmann, 1986:141)
                Untuk konteks sejarah Indonesia, di samping karena masalah budaya hukum di atas, penghindaran penggunaan peradilan negara juga disebabkan oleh kelaziman menggunakan konsiliasi dan arbitrasi dalam dunia perdagangan, terutama oleh pedagang Cina, sejak Indonesia merdeka. Hal ini dilakukan karena alasan efisiensi, kemanfaatan dan kepercayaan. Prosedur peradilan membuat para pengusaha jera untuk menggunakannya. Peradilan perdata sangat bertele-tele, dan terlalu lama. Oleh karena itu perkara yang menyangkut keuangan diajukan ke pengadilan, hanya jika salah satu piak yang berperkara ingin menunda pembayaran agar dapat terus menggunakan uangnya atau nilai yang dibayarkannya nanti menjadi lebih kecil sebagai akibat inflasi. Disamping itu putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan, belum lagi adanya biaya administratif tambahan yang perlu dikeluarkan di bawah meja (Lev, 1990:164-166). Hubungan dagang adalah hubungan kepercayaan. Membawa perkara ke pengadilan negara berarti menghadapi risiko putusnya hubungan dagang, yang berarti kerugian secara ekonomis.
Konsep Sengketa
                Ada banyak konsep mengenai sengketa, tetapi pada umumnya suatu sengketa baru dianggap terjadi bila ada pihak yang meningkatkan keluhan atas ketidakadilan yang dialaminya, yang semula merupakan konflik, perdebatan dyadic (dua pihak), ke arena publik. Ini dilakukan secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkannya (Guilliver, 1973: 667-691). Sengketa denga begitu paling tidak melibatkan tiga pihak atau mempunyai ciri tryadi dan pihak ketiga menjadi terlibat, atas inisiatif sendiri atau atas prakarsa salah satu atau kedua pihak (Nader dan Todd 1978:15, Ihromi,1993:210)
                Pandangan struktural-fungsional melihat sengketa dari sengketanya itu sendiri dengan memperhatikan sturktur (lembaga, kelompok sosial), dan otoritas penyelesasian sengketa yang berada di tangan para headman, gigman atau chief yang bertindak sebagai hakim, beserta teknik untuk menyelesaikannya. Studi-studi berikutnya, lebih mengarahkan perhatian pada proses-proses sosial di mana sengketa merupakan bagian di dalamnya.
Faktor Penentu Sengketa
                Menurut Friedman budaya hukum adalah : “...ideas, attitudes,  beliefs, expectations and opinoons about law” (Friedman,1975:7) pada umumnya sarjana hukum mengadakan wacana mengenai hukum dengan berfokus hanya kepada pengertian hukum sebagai aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas. Mereka seoalah-olah tidak menyadari bahwa Budaya hukum pada umumnya sarjana hukum mengadakan wacana mengenai hukum dengan berfokus hanya pada pengertian hukum sebagai aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas.
                Kenyataan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap “beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari. Mereka beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terusmus dalam hukum, dengan institusi-institusi dan perilaku-perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan da norma-norma tersebut (Ihromi, 1998:1).
                Untuk dapat melakukan kajian yang holistik terhadap hukum dan kenyataan sosial, diperlukan suatu pendekatan empiris yang memungkinkan untuk dapat dilakukan pengamatan terhadap beroperasinya hukum. Dalam hal ini hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen. Sebagaimana dikemukan oleh seorang sosiolog hukum, Lawrence M. Friedman 1975:15). Komponen-komponen tersebut adalah: legal substance, legal structure, dan legal culture (budaya hukum, meliputi:ide-ide, sikap, kepercayaan, harapan dan pandangan tentang hukum)
Lawan Sengketa
                Hubungan sosial para pihak yang bersengketa menentukan ke mana sengketa akan dibawa. Masyarakat dengan hubungan sosial yang multiplex akan cenderung menggunakan institusi rakyat melalui mediasi atau arbitrasi. Sementara itu masyarakat dengan hubungan simplex cenderung menggunakan peradilan negara yang bersifat adjudikatif dan legalistik (F.Benda-Beckmann, 1985:191).
                Studi lain menunjukkan bahwa hubungan-hubungan sosial (terutama kekerabatan) memainkan peranan penting dalam proses penyelesaian sengketa. Dalam studinya pada masyarakat nelayan skandinavia, Yngvesson menunjukkan bahwa “what is done is often less important than who did it, so long as the actors involved are members of the insider category in that community” (Nader dan Todd, 1978:18). Ketika kelanjutan hubungan sosial dianggap sebagai hal yang penting bagi seseorang, maka ia akan melakukan upaya apa saja untuk mempertahankan hubungan tersebut. Upaya itu diantaranya adalah mencari penyelesaian melalui negosiasi atau penyelesaian dengan perantara (musyawarah), yang pada prinsipnya akan menghasilkan penyelesaian yang kompromistis, atau bahkan menghindari terjadinya sengketa (Nader dan todd,1978:17-18).
Jenis Sengketa (Sumber Daya yang Diperebutkan)
                Tidak tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan dengan tidak memperhitungkan hubungan kekerabatan dari lawan sengketa. Hal itu dapat disebabkan oleh jenis perkara yang disengketakan, khususnya bila menyangkut sumber daya material yang sangat besar atau langka. Mengenai sengketa yang berkaitan dengan sumber daya, Starr dan Yngvesson seperti yang dikutip oleh Nader dan Todd mengatakan: “in situations in which scarce form the basis of a dispute, individuals may rank the resource higher than they rank the relationship and may be willing to sacrifice the social relationship with their opponents in order to gain access to, or exclusive use of, the resource” (1978:18)
                Selanjutnya mereka menambahkan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya langka tidak hanya berupa materi, tetapi bisa juga berupa hal yang non material seperti: kehormatan, kebanggaan, prestis, kekuasaan dan keberanian (1978:19). Dengan demikian memang motivasi orang untuk melakukan sengketa adalah beragam: to gain power, to obtain scarce resources, to gain justice, to compensate for a wrong (Nader dan Todd,1978:37)
Kesimpulan
                Banyak yang bisa kita pelajari dari studi sengketa dengan perspektif socio-legal studies. Ilmu hukum menjadi sangat diperkaya dengan menempatkan sengketa pada relasi-relasi sosial, ekonomi dan politik. Hukummenjadi faktor yang determinan karena hukumlah yang menentukan batas-batas dalam relasi tersebut.