Rabu, 10 April 2013

Menikah Di Bangku Sekolah, Menghambat Untuk Cerdas

Menikah, Sudirman Dikeluarkan dari Sekolah; sepenggal kalimat tersebut diatas merupakan judul berita pada Tempo.co tanggal 3 April 2013 yang saya kutip untuk mengawali tulisan ini.
Persoalan menikah merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap orang sebagaimana diakomodasi dalam Konstitusi dan diatur dalam Pasal 10 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Dengan demikian, menikah adalah hak setiap orang.
Defenisi pernikahan atau bahasa dalam undang-undang disebut perkawinan adalah ikatan lahir bathin antra antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (diatur dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Dengan catatan, pernikahan tersebut dikatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari kedua belah pihak.
Pertanyaannya sekarang, usia berapakah seseorang dapat melangsungkan pernikahan? Tentu, jawabannya bagi mereka yang telah dewasa. Mengenai kedewasaan, menjadi hal serius yang perlu kita bahas dalam persoalan pernikahan.
Pada prinsipnya UU Perkawinan mengukur kedewasaan seseorang apabila telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, dan apabila belum mencapai usia tersebut, maka yang bersangkutan harus mendapat izin dari kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan). Sayangnya, dalam Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan,mengatakan perkawinan diizinkan apabila pihak laki-lakinya sudah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun, tentunya Pasal ini membuka peluang terjadinya Pernikahan Dini sekaligus bertolak belakang dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak). Ini artinya, orang baru dikatakan telah dewasa apabila telah berusia lebih dari 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan pada Pasal 26 ayat 1 huruf c UU Perlindungan Anak mengatakan bahwa kewajiban orang tua mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Nah, disitulah yang saya maksudkan bertentangan dengan perlindungan anak.
Setelah kita menilik payung hukum persoalan pernikahan dan usia yang pantas untuk melakukan pernikahan, maka kita akan kembali merujuk pada persoalan Sudirman, 17 (tujuh belas) tahun, siswa Kelas XII, Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Kresek, Kabupaten Tangerang yang telah resmi dipecat atau dikeluarkan (6 Maret 2013) dari sekolah karena melanggar aturan sekolah berupa perjanjian dan kesepakatan untuk tidak menikah selama mengenyam pendidikan di sekolah itu.
Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Kresek, Kabupaten Tangerang (Haryawan) mengatakan masalah pernikahan Sudirman telah dibahas secara mendalam dengan tiga pihak yaitu sekolah, Sudirman dan orang tuanya. Pada pembahasan sebelumnya, pihak sekolah meminta agar Sudirman tidak menikah selama masih sekolah di SMA itu. Tetapi, tidak ada titik temu antara sekolah dan pihak orang tuanya. Aturan sekolah sudah jelas, melarang siswanya ketika masih mengenyam pendidikan tidak boleh menikah. Peraturan sekolah harus ditegakkan (istilah hukumnya:”Fiat Justitia Ruat Coelum” /biarpun langit runtuh hukum harus ditegakkan), meskipun demikian jangan sampai melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan.
Sebelumnya, Sudirman sempat mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS) pada awal Maret dan membayar uang iuran sekolah (SPP). Namun, dua hari mmengikuti UAS, pihak sekolah memberikan surat kepada orang tua Sudirman yang menyatakan ia telah dikeluarkan. Tiba-tiba Sudirman dikeluarkan dan tidak boleh ikut ujian. Uang SPP Rp 500 ribu dikembalikan.
Peristiwa ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalam posisi sedemikian rupa sadar atau tidak sadar kita semua telah melakukan kesalahan yaitu melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan. Sebab, perlindungan anak bukan hanya tanggungjawab Pemerintah, Orang Tua atau LSM semata, akan tetapi tanggungjawab kita semua sebagai masyarakat.
Sekarang, bukan saatnya kita saling menyalahkan. Tapi, kita harus mencari solusi agar peristiwa ini tidak terulang lagi, sehingga cita-cita kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terwujud.
Solusi yang tepat untuk persoalan ini menurut hemat saya adalah pertama; pada pembahasan sebelumnya saya mengatakan peraturan harus ditegakkan, dalam persoalan ini bijaknya kita bisa sedikit melunak, setidak-tidaknya memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengikuti ujian, agar dapat menyelesaikan pendidikannya. Tentunya, hal ini bukan bermaksud untuk mengangkangi peraturan sekolah, namun demi kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest for child) sebagaimana prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam hak-hak anak.kedua, bagi orang tua sebaiknya jangan memberikan izin kepada anak-anaknya yang masih duduk dibangku sekolah untuk melangsungkan pernikahan, karena itu melanggar UU Perlindungan Anak.ketiga,seyogyanya Pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berani merevisi Pasal 6 dan 7 UU Perkawinan mengenai standarisasi ukuran kedewasaan bagi seseorang untuk dapat melangsungkan sebuah pernikahan, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan mengenai standarisasi ukuran kedewasaan antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak.keempat, LSM atau lembaga pemerhati anak dan perempuan harus sesering mungkin melakukan kampanye dan sosialisasi tentang pencegahan pernikahan dini bagi anak-anak yang masih dibawah umur dan berusia sekolah.
Semoga pemerintah, para orang tua, LSM atau pemerhati anak dan perempuan terbuka hatinya untuk melakukan perubahan, agar generasi penerus bangsa ini tidak hidup dalam kebodohan dan persoalan yang sama tidak terulang kembali di msaa datang, sehingga generasi penerus dapat melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa ini.