Menikah,
Sudirman Dikeluarkan dari Sekolah; sepenggal kalimat tersebut diatas merupakan
judul berita pada Tempo.co tanggal 3 April 2013 yang saya kutip untuk mengawali
tulisan ini.
Persoalan menikah
merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap orang sebagaimana diakomodasi
dalam Konstitusi dan diatur dalam Pasal 10 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang berbunyi: “setiap
orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.” Dengan demikian, menikah adalah hak setiap orang.
Defenisi pernikahan
atau bahasa dalam undang-undang disebut perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antra antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (diatur dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan). Dengan catatan, pernikahan tersebut dikatakan sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari kedua belah
pihak.
Pertanyaannya
sekarang, usia berapakah seseorang dapat melangsungkan pernikahan? Tentu,
jawabannya bagi mereka yang telah dewasa. Mengenai kedewasaan, menjadi hal
serius yang perlu kita bahas dalam persoalan pernikahan.
Pada prinsipnya UU
Perkawinan mengukur kedewasaan seseorang apabila telah mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun, dan apabila belum mencapai usia tersebut, maka yang
bersangkutan harus mendapat izin dari kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU
Perkawinan). Sayangnya, dalam Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan,mengatakan
perkawinan diizinkan apabila pihak laki-lakinya sudah mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun dan perempuan sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun,
tentunya Pasal ini membuka peluang terjadinya Pernikahan Dini sekaligus
bertolak belakang dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan (Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak). Ini artinya, orang baru
dikatakan telah dewasa apabila telah berusia lebih dari 18 (delapan belas)
tahun. Sedangkan pada Pasal 26 ayat 1 huruf c UU Perlindungan Anak mengatakan
bahwa kewajiban orang tua mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Nah,
disitulah yang saya maksudkan bertentangan dengan perlindungan anak.
Setelah kita menilik
payung hukum persoalan pernikahan dan usia yang pantas untuk melakukan
pernikahan, maka kita akan kembali merujuk pada persoalan Sudirman, 17 (tujuh
belas) tahun, siswa Kelas XII, Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Kresek, Kabupaten
Tangerang yang telah resmi dipecat atau dikeluarkan (6 Maret 2013) dari sekolah
karena melanggar aturan sekolah berupa perjanjian dan kesepakatan untuk tidak
menikah selama mengenyam pendidikan di sekolah itu.
Kepala Sekolah
Menengah Atas Negeri 7 Kresek, Kabupaten Tangerang (Haryawan) mengatakan
masalah pernikahan Sudirman telah dibahas secara mendalam dengan tiga pihak
yaitu sekolah, Sudirman dan orang tuanya. Pada pembahasan sebelumnya, pihak
sekolah meminta agar Sudirman tidak menikah selama masih sekolah di SMA itu. Tetapi,
tidak ada titik temu antara sekolah dan pihak orang tuanya. Aturan sekolah
sudah jelas, melarang siswanya ketika masih mengenyam pendidikan tidak boleh
menikah. Peraturan sekolah harus ditegakkan (istilah hukumnya:”Fiat Justitia
Ruat Coelum” /biarpun langit runtuh hukum harus ditegakkan), meskipun demikian
jangan sampai melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan.
Sebelumnya, Sudirman sempat mengikuti Ujian Akhir
Sekolah (UAS) pada awal Maret dan membayar uang iuran sekolah (SPP). Namun, dua
hari mmengikuti UAS, pihak sekolah memberikan surat kepada orang tua Sudirman
yang menyatakan ia telah dikeluarkan. Tiba-tiba Sudirman dikeluarkan dan tidak
boleh ikut ujian. Uang SPP Rp 500 ribu dikembalikan.
Peristiwa ini
mengajarkan kepada kita, bahwa dalam posisi sedemikian rupa sadar atau tidak
sadar kita semua telah melakukan kesalahan yaitu melanggar hak anak untuk
memperoleh pendidikan. Sebab, perlindungan anak bukan hanya tanggungjawab
Pemerintah, Orang Tua atau LSM semata, akan tetapi tanggungjawab kita semua
sebagai masyarakat.
Sekarang, bukan
saatnya kita saling menyalahkan. Tapi, kita harus mencari solusi agar peristiwa
ini tidak terulang lagi, sehingga cita-cita kita untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dapat terwujud.
Solusi yang tepat
untuk persoalan ini menurut hemat saya adalah pertama; pada pembahasan sebelumnya saya mengatakan peraturan harus
ditegakkan, dalam persoalan ini bijaknya kita bisa sedikit melunak,
setidak-tidaknya memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengikuti
ujian, agar dapat menyelesaikan pendidikannya. Tentunya, hal ini bukan
bermaksud untuk mengangkangi peraturan sekolah, namun demi kepentingan yang
terbaik bagi anak (best interest for child) sebagaimana prinsip-prinsip dasar
yang terkandung dalam hak-hak anak.kedua,
bagi orang tua sebaiknya jangan memberikan izin kepada anak-anaknya yang masih
duduk dibangku sekolah untuk melangsungkan pernikahan, karena itu melanggar UU
Perlindungan Anak.ketiga,seyogyanya Pemerintah
atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berani merevisi Pasal 6 dan 7 UU Perkawinan
mengenai standarisasi ukuran kedewasaan bagi seseorang untuk dapat
melangsungkan sebuah pernikahan, sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan
mengenai standarisasi ukuran kedewasaan antara UU Perkawinan dan UU
Perlindungan Anak.keempat, LSM atau
lembaga pemerhati anak dan perempuan harus sesering mungkin melakukan kampanye
dan sosialisasi tentang pencegahan pernikahan dini bagi anak-anak yang masih
dibawah umur dan berusia sekolah.
Semoga pemerintah,
para orang tua, LSM atau pemerhati anak dan perempuan terbuka hatinya untuk
melakukan perubahan, agar generasi penerus bangsa ini tidak hidup dalam
kebodohan dan persoalan yang sama tidak terulang kembali di msaa datang,
sehingga generasi penerus dapat melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa ini.