Sabtu, 28 Juli 2012

Peran Ortu Mencegah Nikah Muda

Tulisan ini merupakan ungkapan keprihatinan bagi keberlangsungan masa depan anak bangsa. Berawal dari sebuah berita yang dimuat di Harian Serambi Indonesia tertanggal 23 April 2012 dengan judul “Banyak Siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Gayo Lues Keburu kawin sebelum UN (Ujian Nasional). Dari 1.645 (seribu enam ratus empat puluh lima) pelajar SMP/MTs (Sekolah Menengah Pertama / Madrasah Tsanawiyah) yang terdata sebagai peserta ujian nasional (UN) 2012, sebanyak 21 (dua puluh satu) orang diantaranya terancam tidak bisa ikut ujian karena sudah tidak aktif lagi belajar sejak beberapa bulan terakhir. Menurut laporan dari 21 siswa tersebut ada yang sudah lebih dulu kawin (berumah tangga) sebelum ujian nasional. Perbedaan Ukuran Kedewasaan Menurut Hukum. Meskipun hukum memberi jaminan bagi setiap orang untuk melangsungkan sebuah perkawinan, namun tidaklah serta merta mereka bebas melangsungkan perkawinan tersebut. Sebab, untuk dapat melangsungkan perkawinan, seseorang haruslah memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap orang lain (dalam hal ini, bertanggungjawab terhadap pasangannya). Secara umum, orang yang mampu bertanggungjawab adalah mereka yang telah mencapai usia dewasa atau pada usia yang telah matang. Perkembangan hukum di Indonesia, ditemukan variasi ukuran mengenai seseorang yang dianggap dewasa. Konkritnya, diantara contoh perbedaan ukuran kedewasaan tersebut dapat kita lihat pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut undang-undang perkawinan dalam Pasal 6 ayat 2, untuk melangsungkan sebuah perkawinan seorang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Di pasal yang lain, masih dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika diperhatikan, ukuran kedewasaan menurut undang-undang ini tidak secara implisit disebutkan, namun dari substansi yang tersirat, pada prinsipnya ukuran dewasa yang dianut adalah usia 21 (dua puluh satu) tahun. Selanjutnya, menilik ukuran kedewasaan menurut undang-undang perlindungan anak. Secara hukum, siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) masuk dalam kategori anak, hal tersebut sesuai dengan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Artinya, kategori seseorang yang dapat sebut anak adalah usia 0 (nol) yaitu masih dalam kandungan sampai usia 18 (delapan belas) tahun. Perbedaan pandangan tentang usia ideal melangsungkan sebuah perkawinan nyatanya memang menjadi sebuah rahasia umum bagi masyarakat Indonesia. Namun, semua itu bergantung pada setiap individu untuk menilainya. Usia Ideal Melangsungkan Perkawinan Pada hakikatnya, setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Sebab, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Undang-Undang No.1 Tahun 1974) Meskipun, adanya peluang bagi setiap orang untuk melangsungkan perkawinan, sudah semestinya bagi orang tua perlu memandang beberapa aspek. Pertama; Agama. Secara fisik kematangan seseorang dapat dilihat dari usianya, bagi perempuan bila telah berusia 18 tahun, sedangkan bagi laki-laki berusia 21 tahun. Di usia inilah kematangan fisik dan mental yang dimiliki menjadi modal untuk menjalin sebuah hubungan perkawinan. Kedua; Kesehatan. Perempuan muda dinilai masih belum memiliki kekuatan lebih untuk mengandung bayi. Selain itu, dari segi psikologis, pasangan muda sesungguhnya belum siap untuk menanggung segala hal yang diakibatkan karena menikah terlalu cepat. Jiwa mereka masih labil. Ketiga; Budaya. Masyarakat Indonesia sendiri, menikahkan anak saat usianya masih sangat remaja juga cukup banyak ditemui di Indonesia. Terlebih di daerah-daerah yang masih belum begitu terjamah kemajuan modernisasi. Anak sebagai amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, orang tua bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yaitu prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak. Sudah barang tentu menjadi kewajiban orang tua pula untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (muda), sebab anak juga merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.